Pentingnya karakter jujur
...kurang cerdas dapat diperbaiki... namun tidak jujur sulit diperbaiki...
Saya selalu kagum dengan kata-kata dari Bung Hatta ini. Nilai kejujuran merupakan salah satu nilai dasar dalam pembentukan karakter bangsa. Pintar tanpa kejujuran itu tidak baik. Mendingan kurang pintar, tapi karakternya jujur. Hal yang sering dilupakan kini.
Sedari kecil tanpa sadar orangtua banyak mengajari anaknya untuk tidak jujur. Misalnya ketika ada tamu atau orang yang mencari, namun orangtua malas menemuinya, kita disuruh untuk bilang sedang tidak di rumah. Padahal jelas-jelas ada di rumah.
Anak sekolah naik angkot, lalu mengatakan pada sang supir "nanti Pak, dibayar sama teman yang belakangan turun". Ketika temannya turun, ternyata cuma bayar dirinya sendiri.
Orang muda sering dituntut memiliki nilai bagus di sekolah. Namun karakter kejujurannya tidak dibangun. Demi mendapat nilai tinggi, segala cara dilakukan ketika ujian. Misalnya membuat contekan. Demi lulus, malahan ada guru yang membagikan kunci jawaban soal UN.
Untunglah mas Menteri sudah menghapus UN dari bumi pertiwi. Ada juga yang berusaha masuk kuliah di jurusan favorit dengan jasa joki ujian.
Masih banyak contoh-contoh lain yang makin lama menjadikan masyarakat Indonesia menuju ke arah yang serba permisif terhadap berbagai bentuk kecurangan, kemunafikan, kebohongan, ketidakjujuran dan ketidakadilan.
Ini menjadi tanggung jawab bersama untuk membangun kembali pentingnya menanamkan kembali karakter pada generasi penerus. Menurut saya, salah satu yang bisa dilakukan adalah membiasakan jujur tanpa dipaksa, misalnya menghidupkan kembali adanya 'KPK' alias 'Kantin Penguji Kejujuran' atau Kantin Kejujuran. Konsep ini konon sudah digagas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sejak tahun 2005.
Konsep kejujuran pembeli bagian dari budaya kita
Sebelum kita bahas lebih jauh, mengenai kantin penguji kejujuran atau warung kejujuran atau toko kejujuran, mari kita telisik bagaimana konsep kejujuran pembeli ini sebetulnya sudah banyak dipraktikkan kehidupan sehari-hari. Banyak warung yang mengutamakan kejujuran pelanggannya.
Pernah mampir ke Angkringan? Ketika mencicipi makanan di sana, kita biasanya langsung comot saja gorengan atau sate atau nasi kucing yang dijajakan. Lalu setelah kenyang, cukup memberitahu apa saja yang sudah dimakan. Penjual angkringan pun percaya saja, lalu menghitung berapa bayarannya.
Contoh lain, misalnya di Warung Burjo. Kita bisa duduk nongkrong di sana, makan camilan yang disediakan, lalu setelah selesai makan, lapor ke penjaganya. Apa saja yang sudah disantap. Lagi-lagi kejujuran pembeli yang diutamakan.
Warung makan atau kantin bayar belakangan. Jika makan dikantin ini, setelah kenyang barulah lapor ke ibu kantin, apa saja yang dimakan tadi. Lalu bayar sejumlah yang ibu kantin minta. Ibu kantin pun biasanya percaya saja.
Contoh-contoh ini sebetulnya memberi keyakinan pada kita, bahwa nilai kejujuran itu sebetulnya sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sejak dulu. Bagian dari kekayaan budaya kita.