Lihat ke Halaman Asli

David F Silalahi

TERVERIFIKASI

..seorang pembelajar yang haus ilmu..

Potret Buram Perlindungan Anak di Indonesia

Diperbarui: 24 Juli 2020   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (wowmenariknya.com)

Refleksi Hari Anak Nasional

Selamat Hari Anak Nasional untuk kita dan anak-anak kita semua, yang setiap tahun diperingati pada tanggal 23 Juli, jatuh pada hari ini. Meskipun kali ini perayaannya jauh berbeda, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Mari kita refleksikan sejenak bagaimana potret perlindungan anak di Indonesia.

Kapan seseorang disebut anak? 

Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 

Jadi katakanlah seseorang hingga dia menyelesaikan bangku sekolah menengah (SMA/SMK) belajar baru lah lepas dari sebutan anak. Saat usia 6 tahun masuk sekolah dasar, umur 12 tahun lanjut sekolah menengah pertama, lalu usia 15 tahun lanjut sekolah menengah atas. 

Lalu setelahnya dia sudah saatnya disebut dewasa, usia > 18 tahun. Singkat kata, ketika sudah masuk bangku kuliah atau pendidikan tinggi. Maka lepaslah status sebutan anak tadi. Jadi anak kuliah tidak termasuk yang disebut anak disini. Hehe

Namun, sesuai definisi tadi, janin yang dalam kandungan, sejak seorang ibu positif hamil, maka sudah pula disebut sebagai anak. Melekat pula lah hak nya untuk mendapat perlindungan sebagai anak.

Jumlah anak Indonesia mencapai sepertiga penduduk Indonesia, sekitar 83,5 juta jiwa, dan terus bertambah dengan adanya kelahiran anak-anak setiap tahun. Generasi ini pula yang akan menjadi bonus demografi di tahun mendatang. Mereka akan beranjak remaja, dewasa, dan masuk usia produktif.

Jumlah anak Indonesia (Data Kemdikbud 2018)

Banyak kekerasan anak terjadi dalam rumahnya sendiri

Kasus perceraian orangtua, keluarga tak harmonis, ekonomi miskin, perselingkuhan ayah atau ibu, pernikahan siri, orangtua yang sibuk bekerja, dan ragam persoalan lainnya selalu menjadi pemicu terabaikannya hak anak dalam keluarga sendiri. 

Kondisi ekonomi sulit seringkali menjadi pemicu ribut dalam rumah tangga, entah adu mulut, bahkan melibatkan kekerasan fisik. Terkadang orangtua lupa pertengkaran mereka disaksikan oleh anak-anaknya. Ini tentu mempengaruhi psikologis anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline