Lihat ke Halaman Asli

Kita yang Dulu

Diperbarui: 5 Juli 2023   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dulu kita begitu mesra, hingga semestapun iri melihat kita. Ingatkah kau waktu itu?, ketika bunga-bunga berjatuhan dimusim semi, angin yang begitu hangatnya membelai perasaan kita. Semuanya tanpa kata, berbicara dalam Bahasa diam tapi penuh makna, bias jadi argumentasi pembelaanmu terhadap zaman yang kian berubah, membuatmu bahagia dalam ketertutupanmu, namun sebenarnya semuanya hanyalah cerita dalam kepingan-kepingan sejarah, engkau mungkin sudah melupakan suasana itu, suasana musim semi yang indah, suasana yang semuanya syarat akan kehangatan. Engkau sekarang lebih menyukai musim hujan, musim kemarau atau musim salju, namun musim semi itu tetaplah indah, seindah kehangatan hatimu ketika mendekap setiap hati-hati orang-orang yang ada disekitarmu.

Dulu kita begitu dekat, hingga bintang dan rembulanpun iri melihat kita. Ingatkah engkau waktu itu, dengan dentingan suara petasan yang mengayum sahdu dipelataran waktu magrib. Engkau berdiri ditepi jalan melihat manusia-manusia yang lalu lalang, seakan engkau maumemperlihatkan bahwa engkau merupakan bagian dari sejarah. Walau tidak ada yang mau menengok sejenak untuk melihatmu, namun ditengah luasnya semesta engkau masih memiliki kesadaran bahwa engkau tidak sendiri, seakan alam dan dirimu menyatu dalam kesadaran kosmos. Hingga akupun demikian, memandangmu dari jauh, dengan tatapan penuh kekaguman, walaupun pada akhirnya aku sadar bahwa kita berdua tenggelam dalam lautan kehidupan semesta.

Dulu kita begitu ramai, hingga semesta iri mendengar kita. Ingatkah engkau waktu itu, dengan musim-musim yang silih berganti, menemani hari-harimu yang indah penuh makna. Pada saat kita berdua berjalan beriringan, tidak henti-hentinya bumi dan langit menegur kita, menegur dengan teguran penuh kemesraan dan kesantunan, seakan-akan semesta senang melihat kita berjalan menapakans etiap jejak kaki kita diatas tanahnya, jikalau kita mulai menampakan jejak kaki di bukit kasih, jejak-jejak itu memberikan penggambaran yang sempurna akan artinya hidup dan keindahan. Itulah kehebatan cinta kasih, merubah semua menjadi pewayangan yang romantic, tidak ada dendam dan benci, yang ada hanyalah Bahasa kasih dan juga Bahasa kemesraan.

Dulu banyak cerita tentang kita, tentang bagaimana kita bersua, tentang bagaimana kita bertegur sapa dengan kasih. Semua menjadi sebuah cerita romantic tanpa mistic dari kita anak manusia. Semuanya begitu hangat, sampai akhirnya dari setiap kita akan menyadari bahwa, hidup selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidak selamanya dari masing-masing kita untuk selalu hidup pada waktu yang lalu, waktu yang tidak pernah berjalan. Bagaimana dari setiap kita mau menghentikan waktu dan akan selalu hidup dari waktu yang sama, semuanya merupakan bentuk kemustahilan, semuanya hanya akan menjadikan setiap kita seperti manusia yang tidak tahu akan maknannya hidup. Jikapun dari setiap kita bisa menghentikan waktu, maka itu merupakan sebuah tanda bahwa setiap dari kita ingin sejarah hilang, dan tidak ada lagi bumi dan manusia

Dulu engkau begitu berharga, namun kini engkau hanya menjadi kepingan-kepingan sejarah masa lampau yang lambat laun hilang diterpa angin kegelisahan, engkau hanya mampu menghadap kedepan, tidak mau sedikitpun menoleh kebelakang hingga suatu saat engkau akan tersadar tidak sedikit orang yang mencintaimu engkau tinggalkan, engkau hanyalah rumpun masa lalu, Bersatu dengan semak belukar kehidupan, namun diujung jalan yang engkau lalui ada dunia yang senantiasa menantimu, dunia yang hanya engkau mengerti sendiri

Sekarang kita begitu jauh, hingga tidak ada lagi kesempatan untuk mengingat apa yang telah lalu. Semua berjalan dalam restu semesta, seperti air yang bergerak dengan iramanya yang sempurna, bergerak menyusuri celah-celah bebatuan dalam perbukitan yang agung. Biarlah keseimbangan itu mengambil kita, hingga dalam tiap-tiap kesadaran yang menegur, masih ada sisa kehangatan musim semi yang telah lalu. Biarkanlah semuanya berjalan secara alami, hingga angin musim semi yang pernah menghangatkan perasaan kita bisa sedikit menegur dalam kebijaksanaanya yang agung. Semuanya hanyalah kata yang terangkai indah dalam sisipan-sisipan rasa. Semuanya hanyalah kalimat yang akan mengantarkan kita dalam sebuah kesadaran, kesadaraan atas diri kita dan realitas disekitar kita.

Luasnya dunia yang pada akhirnya bisa menyadarkan dari setiap kita bahwa masih banyak tanah yang harus ditapaki, masih banyak tempat yang harus dikunjungi, masih banyak orang-orang yang harus ditemui. Dalam pada itu, pada setiap persinggungan sejarah yang kita lalui, pada setiap laku dan suasana hidup yang mempertemukan kita dengan berbagai watak dan karakter manusia, semuanya hanyalah sejarah yang lambat laun akan kita dapati. Semuanya berjalan pada tempat yang seharusnya, seperti air yang mengalir dari perbukitan kasih dan juga udara yang membelai setiap daun yang hidup diatas permukaan, biarlah semua berjalan alami, dan pada akhirnya kita akan menemukan kesejatian, kesejatian dari masing-masing setiap diri kita.

Tondano,           2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline