Lihat ke Halaman Asli

Hukuman Mati Untuk Koruptor Bukan Solusi (Corruption Perceptions Index 2014 - Transparency International)

Diperbarui: 12 Agustus 2015   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama ini kita sering mendengar wacana untuk meniru gerakan pemberantasan korupsi ala Tiongkok. Hukuman mati! Banyak orang dengan penuh emosional mendengungkan seruan ini, tanpa berpikir lebih dalam tentang efektifitas hukuman mati terhadap pemberantasan korupsi. Berhubung pendapat soal hukuman mati untuk koruptor hanyalah ekspresi emosional sesaat, makanya berapa tahanan KPK juga pernah menyerukan hal yang sama. Tentu saja itu sebelum mereka tertangkap.

Berdasarkan Corruption Perceptions Index 2014 yang dirilis Transparency International hari ini, Tiongkok yang konon menggunakan pendekatan hukuman mati untuk para koruptor, hanya berada di peringkat 100 dari 174 negara dengan skor 36 (turun 4 point dibanding tahun lalu). Posisi kita, Indonesia, tidak jauh lebih buruk dengan berada di peringkat 107 dengan nilai 34, jauh tertinggal dibelakang negara-negara tetangga kita seperti Thailand dan Filipina yang sama-sama di peringkat 85, Malaysia di posisi 50 dan tentu saja negara kota Singapura yang berada di jajaran 10 besar.

Hukuman mati tidak akan mampu menekan perilaku korupsi. Hukuman berat hanya berarti taruhan yang lebih besar, sehingga koruptor akan melakukan korupsi dengan lebih hati-hati, dengan mempertimbangkan aset yang dijarah dibandingkan hukuman yang akan dijalani kalau tertangkap. Istilah sederhananya, high risk high return.

Gaji kecil juga bukan penyebab utama seseorang melakukan korupsi. Buktinya, pegawai negara yang melakukan korupsi ternyata gajinya tidak kecil.

Penyebab utama korupsi tentu saja keserakahan. Korupsi mungkin terjadi di semua negara, tapi masalah yang terjadi di Indonesia adalah korupsi telah menjadi budaya. Orang yang berada di institusi yang korup pasti malu kalau tidak ikut-ikutan korupsi bersama koleganya. Malu dan takut diasingkan dalam pergaulan, inilah budaya korupsi. Pegawai negara yang merasa wajar menerima upeti dari bawahannya atau dari masyarakat umum, dan malahan yang memberi upeti itu juga merasa wajar. Ya, inilah budaya korupsi.

Budaya korupsi itulah yang harus digantikan dengan budaya yang lebih baik. Budaya yang menghargai kerja keras untuk mendapat hasil yang lebih baik. Budaya untuk disiplin. Budaya untuk mengenal batasan antara milik pribadi dan milik orang lain. Ya, tapi untuk membangun budaya butuh waktu dan sikap konsisten. Budaya korupsi saja telah dibangun selama 32 tahun. Jadi, setidaknya perlu hitungan puluhan tahun juga yang harus dilewati untuk membangun budaya yang lebih baik dalam masyarakat.

Untuk langkah awal, mungkin kita dapat mencontoh langkah yang telah dilakukan, Denmark, sang jawara pemberantasan korupsi tahun ini: "... While top performer Denmark has strong rule of law, support for civil society and clear rules governing the behaviour of those in public positions ..." sumber: http://www.transparency.org/news/pressrelease/corruption_perceptions_index_2014_clean_growth_at_risk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline