Lihat ke Halaman Asli

Wujudkan Pemilu Bersih, Tanpa "Money Politic"

Diperbarui: 30 November 2018   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bulan Juni 2018 yang lalu, sebagian rakyat Indonesia memakai suaranya dalam Pilkada serentak 2018. Pesta demokrasi untuk memilih orang nomor 1 di daerah masing-masing ini disambut rakyat Indonesia dengan antusias. Banyak cara yang dipakai oleh para pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menarik hati rakyat untuk memilih mereka. Tapi, apakah semua cara yang dipakai benar? Sudah banyak dugaan praktik kampanye yang salah. Salah satu praktik tersebut adalah Money Politic.

Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Politik uang dapat berupa barang maupun uang. Politik uang biasanya dilakukan oleh para simpatisan atau bahkan pengurus suatu partai politik. 

Dalam praktiknya, politik uang biasanya memakai sembako untuk dibagi -- bagikan kepada warga yang membutuhkan dan bertujuan untuk menarik simpati warga supaya memilih partai yang bersangkutan.

Dasar Hukum untuk Politik Uang adalah Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:

"Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."

Lalu bagaimana awal dari politik uang atau money politic ini? Menurut penelitian Warner Muntinghe, seorang Ilmuwan Belanda, pada tahun 1817 sistem di Indonesia adalah sistem desa -- desa dan dikepalai oleh kepala desa. Pada masa itu, kepala desa dipilih secara turun temurun. Pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sistem ini diubah. 

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Indische Staatsregering yang berisi tentang sistem baru yaitu desa terlibat penuh dalam pemilihan kepala desa. Pada masa itu, pecah Perang Diponegoro. 

Diponegoro masuk ke desa untuk merekrut warga menjadi prajurit. Tapi Belanda, menyuruh Asisten Wedana (Camat) untuk ikut campur dalam pemilihan Lurah. Sehingga calon -- calon lurah adalah warga yang mendukung Belanda. Oleh karena itu, Belanda memberikan hadiah supaya warga memilih calon -- calon dari Belanda. Nah, dari saat inilah, Politik Uang terjadi.

Bawaslu mengatakan bahwa terdapat 35 kasus politik uang pada saat hari tenang Pilkada Serentak 2018 tanggal 24 -- 26 Juni 2018. "Data politik uang yang diproses oleh Bawaslu kabupaten atau kota sebanyak 35 kasus," ujar Ratna saat konferensi pers di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (27/6/2018). 

Kasus terbanyak terjadi di Sulawesi Selatan kemudian disusul Sumatera Utara dan Lampung yakni masing-masing 7 kasus. Jawa Tengah 5 kasus, Sulawesi Barat dan Banten 2 kasus, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah masing-masing satu.

Selain kasus di atas, ada pula kasus politik uang dalam bentuk barang dan jasa. Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan bahwa ada 39 kasus deklarasi relawan selama masa tenang, 19 bazar murah, 14 kasus pengobatan gratis, 37 kasus pembagian sembako, 51 pertemuan terbatas pasangan calon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline