Teman saya yang memiliki usaha warung nasi mengeluhkan omsetnya yang turun drastis belakangan ini. Padahal warungnya itu terletak di daerah sekitar gedung perkantoran yang biasa ramai sejak pagi hingga malam. Nasib yang sama juga dialami warung-warung nasi lainnya. Karena teman tersebut juga karyawan digedung perkantoran, dia menyempatkan untuk mengunjungi para pelanggannya.Betapa terenyuhnya dia melihat bahwa para pelanggannya membawa bekal makan siang sendiri, nasi berlauk tempe goreng atau telur dadar. Diapun jadi menyadari bahwa perekonimian sedang lesu. Fakta yang disadari oleh para pengusaha warung Padang di Depok hingga membuat mereka menyiasati dengan meluncurkan paket Rp.10 ribu (satu lauk, satu jenis sayur dan sambal).
Penurunan omset juga dirasakan para pedagang grosir Pasar Tanah Abang. Sementara saya yang berdagang online dengan coverage beberapa jenis market yang berbeda mencermati untuk pasar online regular juga merasakan sepi transaksi di tanggal muda. Sesuatu yang tidak biasa terjadi. Untungnya hal berbeda terjadi di e-commerce barang bekas yang malah ramai pembeli dan tanpa banyak tanya dan tawar langsung membeli barang-barang bekas yang saya display. Padahal biarpun barang bekas sebenarnya dari segi kelas dan kualitas malah jauh berkualitas dan mahal dibanding barang baru yang saya perdagangkan. Di pihak lain, atas permintaan beberapa teman baik, saya juga menawarkan properti mereka yang termasuk hot properti karena dijual dengan harga miring padahal berada di lokasi stategis.Tak disangka-sangka properti tersebut langsung terjual dalam jangka waktu kurang dari sebulan. Sungguh diluar dugaan sebab biasanya penjualan propertimembutuhkan waktu bulanan.
Jika ditelisik lebih dalam, customer dari barang bekas tersebut sebenarnya bisa digolongkan sebagai customer dengan daya beli yang cukup tinggi namun memiliki kewaspadaan dalam membelanjakan uangnya. Makanya mereka lebih memilih untuk berbelanja barang bekas berkualitas. Sementara para pembeli properti bisa dipastikan memiliki dana yang teramat sangat berlebih, mereka sebenarnya juga merupakan pembelanja yang cerdas karena membeli properti saat dalam posisisusah jual seperti yang terjadi saat ini.
Saya jadi bertanya-tanya apakah fenomena ini membuktikan bahwa saat ini memang sedang terjadi ketimpangan ekonomi yang sangat parah dimana berdasarkan data yang dilansir oleh lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse telah menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan Ketimpangan Ekonomi tertinggi ke empat setelah Rusia, India dan Thailand. Indonesia ditempatkan pada posisi ini karena 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49.3% kekayaan nasional.
Tidak hanya Credit Suisse mencatat kondisi memprihatinkan ini, data statistik dari BPS (Badan Pusat Statistik) juga mencatat bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia semakin tinggi. Hal ini tercemin dari meningkatnya Indeks Gini Ratio pada September 2016 yang kembali ke angka 0,41 setelah mengalami penurunan sejak 2015. Padahal pemerintah menargetkan nisbah Gini turun hingga 0,36 pada 2019. Indeks Gini Ratio sendiri adalah ukuran yang dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilità e mutabilità. Koefisien ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Di seluruh dunia, koefisien bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).
Besarnya kesenjangan terlihat pada penguasaan dana di perbankan dari orang-orang kaya
Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Meskipun hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta dengan total nilai Rp. 673 Trilyun. Namun 2% dari rekening di bank merupakan rekening dengan dana di atas Rp. 2 Milyar yang bernilai total Rp. 2.601 Trilyun.
Oxfam Indonesia bersama bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mencatat dalam Laporan Ketimpangan Ekonomi bahwa dalam 20 tahun terakhir, jurang antara orang kaya dan miskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Dilaporkan bahwa Indonesia berada di 6 peringkat terbawah dunia dalam hal ketimpangan. Harta dari 4 orang terkaya Indonesia setara dengan gabungan dari Harta 100 juta orang miskin di Indonesia.
Pemerintah meyakini bahwa salah satu sumber pembiayaan bagi pembangunan adalah melalui Pajak. Demi meningkatkan pendapatan dari Pajak, Pemerintah sudah meluncurkan program Tax Amnesty yang berakhir beberapa bulan lalu. Seharusnya ini tidak sulit mengingat jumlah orang kaya relatif sedikit tapi hartanya sangat banyak. Namun apa daya kondisi di lapangan malah menguak fakta bahwa ada 5 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes dan Globe Asia 2015 tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Lebih jauh lagi Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR itu menjelaskan alasan 5 orang terkaya itu tidak memiliki NPWP karena mereka sudah meninggalkan Indonesia sudah lebih dari 183 hari dan memutuskan menjadi warga negara asing. Mereka sekarang sudah jadi warga negara asing, bahkan ada yang menetap di daerah timur Indonesia, tepatnya di sebelah Papua. Orang yang awalnya warga Negara Indonesia dimana 2 orang terkaya dari Jawa Timur, 2 orang terkaya dari Sumatera, dan 1 orang terkaya dari Jakarta.
Sebenarnya ini fakta yang menyedihkan mengingat kekayaan mereka berasal dari usaha di Indonesia, sayangnya saat mereka dibutuhkan, mereka malah pergi. Padahal Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan bahwa dari Rp. 1 Triyun yang bisa dikumpulkan Pemerintah akan bisa digunakan untuk membangun 3.541 km jembatan, 155 km jalan, 52.631 hektar sawah, 11.900 rumah prajurit dan membayar 9,4 ribu gaji guru senior.
Selanjutnya pemerintah bisa menyalurkan beras 729 ribu rumah tangga sasaran, 93 ribu ton benih, 306 ribu ton pupuk dan membantu memberikan bantuan 2,2 juta siswa SD, 1,3 juta SMP dan 1 juta SMA, 355 ribu keluarga miskin dan 3,6 juta orang miskin.