Lihat ke Halaman Asli

Lebih Sering Mengunjungi Taman Kota daripada Mal (kata Pak Menteri PU)

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengingatkan warga Jakarta untuk lebih sering mengunjungi taman kota daripada mal. Ia pun mengingatkan salah satu tujuan penting pembangunan taman kota adalah untuk mengubah gaya hidup orang Jakarta dari yang lebih suka jalan-jalan di mal, menjadi sering mengunjungi taman kota.

"Taman-taman kota yang tersembunyi, seperti Taman Langsat ini menjadi faktor yang membuat banyak masyarakat lebih senang ke mal. Maka ubahlifestylekita ke mal menjadi ke taman. Acara musik danexhibitonjangan digelar di mal saja, ubah menjadilifestyle mindedkita," kata Djoko Kirmanto, dalam acara Revealing Hiddenpark, di Taman Langsat, Jakarta, Sabtu, (3/11/2012). (SUMBER: Kompas.com)

Sejarah Mal

Sebutan mal bermula dari Perancis “maille” yang berarti palu kayu, pemukul bola pada permainan palle maille. Permainan mirip tenis ini dimainkan di lorong-lorong atau jalanan sepi yang disebut pall malls. Permainan ini mampu menyedot perhatian orang untuk memadati pall malls di kala itu. Di mata pengusaha, animo yang besar terhadap permainan ini merupakan peluang usaha yang menggiurkan. Mereka menyadari bahwa para pengunjung akan membutuhkan sesuatu untuk dimakan sehingga mereka memutuskan untuk membuka toko di sekitar pall malls.

Akan tetapi, lambat laun permainan ini mulai dilupakan. Mereka tidak memainkan palle maille lagi. Meskipun begitu, toko-toko di sekitar area permainan palle maille masih tetap dikunjungi orang. Bahkan orang-orang lebih girang berjalan-jalan dari satu toko ke toko lain sehingga membentuk pusat perbelanjaan.

Usai Perang Dunia II, pusat perbelanjaan ini mulai digagas dengan serius. Di dunia barat, Amerika mengonsep mal serupa ‘kotak besar’ tertutup, di tahun 1950-an. Di dalamnya, secara individual terdapat toko-toko kecil. Tujuannya, guna memudahkan pembeli untuk berjalan kaki dari unit ke unit tanpa terganggu lalu lintas kendaraan.

Ide lahirnya pusat perbelanjaan tertutup sebenarnya tidak berinduk dari Amerika. Pada abad ke-10, dunia Islam Timur Tengah sudah lebih dulu mencacakkan bangunan besar yang berfungsi sebagai pusat perbelanjaan. Hanya saja, bangunan seperti itu dikenal dengan istilah bazaar, seperti di Suriah, Turki dan Iran.

Rancangan standar sebuah bazaar terdiri dari jaringan blok-blok berupa pasar yang berada dalam satu bangunan. Terkadang, dengan sebuah kubah utama di pusat bangunan. Seperti halnya pola pusat perdagangan masa kini. Toko-toko yang menjual barang sejenis berkelompok dalam satu blok sehingga membentuk lorong. Pola ini dapat ditemukan hampir pada kebanyakan bazaar seperti Bazaar Aleppo di Suriah.

Soekarno, presiden pertama RI, mulai melirik model pusat perbelanjaan di awal tahun 1960-an. Dengan celengan dana pampasan perang dari Jepang, akhirnya berdirilah Pertokoan Besar Serba Lengkap (Toserba) Sarinah pada 1965 di Jakarta. Meski pada namanya belum melekat kata mal, Toserba Sarinah cukup memenuhi syarat menjadi mal kala itu.

Di tahun 1980-an, keberadaan mal semakin melegitimasi kota. Bahkan, jangan pernah berharap suatu wilayah dibilang kota kalau belum terdapat mal yang mentereng disana. Akhirnya, sampai saat ini pertumbuhan mal semakin melejit. Hampir di setiap kota di wilayah Indonesia berlomba-lomba untuk mendandani kotanya dengan mal.

Mal Sebagai Ruang Publik?

Ruang publik merupakan sebuah ruang dimana masyarakat bisa beraktivitas secara secara bebas tanpa dibatasi jangkauan kelas sosial. Aktivitas dalam ruang ini tidak ada unsur diskriminasi, karena semua orang bisa mengakses termasuk kelas menengah ke bawah.

Kehadiran mal di tengah-tengah kota telah mengeleminasi ruang publik yang sebenarnya dan memasukkannya ke dalam mal. Namun, pengalihan ruang publik ke dalam mal, tidak sepenuhnya mengadopsi nilai-nilai egaliter yang menjadi karakter khas ruang publik. Saat memasuki mal, masyarakat secara tidak sadar kian diatur sedemikian rupa.

Ketika hendak berjalan-jalan ke taman kota, kita bebas mengenakan pakaian apapun (selama batas kesopanan yang dianut masyarakat setempat masih ditaati), mengenakan sandal jepit dengan kaos oblong yang dibeli di pasar murah. Ataupun bercengkerama dengan keluarga dengan membawa peralatan dan makanan sendiri, tidak akan menjadi masalah.

Hal-hal semacam ini tidak akan pernah terjadi pada ruang publik bernama mal. Ruang publik bentukan mal, adalah ruang publik yang menyeleksi pengunjung secara halus. Saat kita masuk ke dalamnya, bukan ukuran sopan dan tidak sopan pakaian yang kita kenakan, melainkan seberapa bernilai pakaian ataupun aksesoris yang kita pakai. Sulit kita temui ada orang yang mengenakan kaos oblong murahan dengan sandal jepit bebas berkeliaran dalam mal, meskipun tidak ada aturan yang melarangnya.

Mal telah menyerupai ruang publik sebenarnya. Dikonsep dengan lebih menarik dan nyaman sehingga masyarakat cenderung meninggalkan ruang publik sebenarnya seperti taman kota.

Ruang publik yang semula bermakna luas sebagai wahana hidup bersama, bercengkerama, ngobrol, menghirup udara segar, serta rekreasi dan relaksasi untuk hidup lebih lanjut lagi, pelan-pelan mendapatkan makna khususnya sebagai ruang publik politik ekonomi.

Mal membuat ruang bersama menjadi fungsi ekonomis pasar dengan kepentingan kelas-kelas ekonomis semenjak kapitalisme menjadi penentu hidup manusia.

Referensi:

Ruang Kota, Ardyan M. Erlangga, dkk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline