Bencana banjir terjadi hampir di seluruh penjuru dunia. Bencana itu telah membawa kerugian bagi kita semua. Bahkan menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti, kerugian ekonomi Indonesia akibat krisis iklim telah mencapai Rp.100 trilyun per tahun. Kerugian itu akan terus meningkat seiring makin ekstremnya cuaca.
Tak heran kemudian krisis iklim yang bedampak pada makin seringnya terjadi bencana dengan intensitas tinggi dan skala luas itu menjadi ancaman serius bagi Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org. Ancaman serius krisis iklim bagi HAM itu antara lain disebabkan karena krisis iklim telah menyebabkan banyak orang kehilangan akses terhadap air bersih dan pangan. Itu semua adalah persoalan HAM.
Bukan hanya itu, menurut Sisil, berbagai bencana ekologi yang disebabkan oleh krisis iklim juga menyebabkan ribuan bahkan jutaan orang menjadi pengungsi. Laporan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies di 2021, ada sekitar 10,3 juta orang di dunia terpaksa mengungsi akibat bencana yang disebabkan oleh krisis iklim seperti banjir dan kekeringan. Celakanya dari angka itu, sekitar 60% dari pengungsi iklim itu berada di Asia, termasuk Indonesia.
Di Indonesia misalnya, banjir Jakarta di awal 2021, berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta ada sebanyak 1.380 warga DKI Jakarta mengungsi dari rumahnya akibat banjir. Celakanya bencana ekologi akibat krisis iklim juga terjadi di beberapa daerah lainnya, dari Sabang hingga Marauke.
Salah satu kewajiban negara dalam konteks HAM adalah pemenuhan hak-hak warga tersebut. Namun, ironisnya, sebagian bank BUMN justru menjadi bagian dari pihak-pihak yang mendanai krisis iklim itu. BNI misalnya, menjadi salah satu dari bank BUMN yang masih mendanai batubara, peneyabab krisis iklim.
Padahal dalam Sustainability Report tahun 2020, BNI sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), penyabab krisis iklim. Tapi, faktanya, BNI menjadi salah satu dari enam bank di Indonesia yang masih memberikan pinjaman ke proyek energi batubara. Bank BUMN yang menjadi bagian dari negara harusnya berperan labih nyata, bukan sekedar basa-basi, dalam menurunkan GRK. Mereka harus berhenti mendanai batubara.
Masih adanya bank BUMN yang mendanai batubara juga memicu kekecewaan anak-anak muda. Komunitas Fossil Free Kampus Indonesia misalnya, beberapa waktu lalu melayangkan petisi ke Direktur Utama BNI untuk segera menghentikan pendanaan ke proyek batu bara. Petisi bertajuk, 'Dirut BNI: Stop Danai Batu Bara, Alihkan Uang Kami dari Perusak Masa Depan!', tersebut dapat dilihat di change.org.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H