Candi Borobudur, hampir semua pernah mendengarnya. Bahkan, sebagian orang pernah mengunjungi karya legendaris nenek moyang kita itu. Candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah itu merupakan peninggalan penganut agama Buddha Mahayana. Candi itu dibangun sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
Candi Borobudur merupakan candi atau kuil Buddha terbesar di dunia. Candi Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Candi itu kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan. Paling tidak tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, seperti ditulis di solopos, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Bagaimana tidak, sepanjang tahun 2019, candi yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno di abad ke-8 itu, telah dikunjungi sekitar 3.475.269 wisatawan domestik. Sementara, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Candi Borobudur mencapai 240.356 orang. Tak heran bila Candi Borobudur adalah bagian dari Wonderful Indonesia.
Saya sudah dua kali mengunjungi candi legendaris itu. Pertama mengunjungi Candi Borobudur, saat saya masih kecil, kira-kira berusia 6-7 tahun. Tidak ada peristiwa yang saya ingat saat kunjungan pertama itu. Saya mengetahui bahwa di masa kecil pernah berkunjung ke Candi Borobudur setelah melihat foto-foto lawas keluarga. Beberapa tahun yang lalu, sekitar tahun 2013 saya dan keluarga kembali mengunjungi karya legendaris nenek moyang kita itu. Bedanya, di kunjungan kedua itu, saya lebih detail melihat beberapa relief Candi Borobudur. Salah satu yang menarik adalah adanya berbagai alat musik dalam relief Candi Borobudur tersebut.Pada relief Candi Borobudur, yaitu pada relief Karmawibhangga, Lalitavistara, wadariaJtaka, dan Gandawyuha, terlihat lukisan alat-alat musik, antara lain suling, simbal, Lute, ghanta, cangka (terompet yang terbuat dari siput), saran dan gendang. Kenapa relief musik di Candi Borobudur menjadi menarik?
seperti ditulis dalam website Sound Of Borobudur, terdapat sebanyak 226 relief Alat Musik jenis Aerophone (tiup), Cordophone (petik), Idiophone (pukul) dan Membranophone (ber-membran), serta 45 relief Ansambel di dinding candi. Bahkan, bentuk alat musik yang ada di relief candi Borobudur tersebut, saat ini tersebar ke-34 Provinsi di Indonesia. Bahkan beberapa jenis alat music yang dipakai saat ini, masih sama persis menyerupai bentuk yang ada di relief candi. Lebih luas lagi, ada kesamaan atau kemiripan yang sangat signifikan antara bentuk alat musik di relief Borobudur dengan alat musik yang saat ini masih dimainkan di-lebih dari 40 Negara di dunia.
Relief alat musik yang beragam di relief Candi Borobudur itu menunjukan bahwa nenek moyang bangsa ini adalah para musisi ulung. Borobudur pusat musik dunia. Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan candi itu pada masanya. Bukan hanya itu, keberadaan relief beragam alat musik itu juga menunjukan bahwa nenek moyang bangsa ini sudah akrab dengan dasar-dasar peradaban modern saat ini. Dasar-dasar peradaban modern saat ini adalah ilmu pengetahuan, seni dan teknologi.
Bagaimana tidak, struktur Candi Borobudur yang menjulang tidak akan bisa terwujud tanpa dasar-dasar ilmu pengetahuan di bidang matematika dan teknologi bangunan (teknik sipil). Bukan hanya itu, candi itu juga merupakan puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa di Pulau Jawa. Adanya, relief beragam alat musik di Candi Borobudur melengkapi bahwa nenek moyang kita bukan hanya menguasai seni rupa namun juga musik.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah, pelajaran apa yang bisa dipetik dari penguasaan nenek moyang kita terhadap dasar-dasar peradaban modern berupa ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, yang tercermin dalam Candi Borobudur?
Dari Candi Borobudur, kita dapat belajar bahwa sebagai sebuah bangsa, kita telah memiliki pijakan yang kuat dalam membangun peradaban modern. Nenek moyang kita sudah menguasai ilmu pengetahuan, seni dan teknologi. Kini, kita tidak bisa lagi mundur kebelakang. Ketiga dasar-dasar peradaban modern itu, tidak bisa tidak, bukan hanya harus dikuasai namun juga harus terus dikembangkan. Kini menjadi tidak relevan bila muncul generasi baru di Indonesia yang anti-sains (ilmu pengetahuan), anti-teknologi dan anti-seni. Kita justru harus memadukan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi kedalam sebuah maha karya baru. Jika nenek moyang kita bisa memadukannya dalam karya Candi Borobudur, paling tidak kita pun harus bisa melakukan hal yang sama. Pertanyaannya, apakah kita mau mengambil pelajaran dari perpaduan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi dalam Candi Borobudur itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H