Di saat Kalimantan dan Sumatera dilanda kabut asap, di media sosial muncul kampanye #SawitBaik. Ini bukan sebuah kebetulan, tapi memang sudah direncanakan dari awal.
Di Riau, menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), seperti ditulis di portal berita ini, bahwa laporan dari Bupati Pelalawan menyebutkan 80 persen wilayah kebakaran hutan dan lahan selalu berubah menjadi lahan perkebunan sawit atau tanaman industri lainnya. Laporan itu diperkuat dengan tindakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyegel 28 perusahaan sawit. Lihat beritanya di sini.
Jadi para pembela sawit yang mengkampanyekan #SawitBaik, nampaknya sudah menduga bahwa kebakaran lahan yang melenda Kalimantan dan Sumatera melibatkan perusahaan sawit. Sehingga tak heran mereka melakukan kampanye seperti itu. Meskipun terkesan tidak manusiawi. berkampanye membela sawit di tengah jutaan orang sesak nafas, namun karena untuk membela sawit, apapun akan dilakukan juga.
Bahkan dalam kampanyenya, para pembela sawit tak segan-segan menggunakan narasi ekonomi dan nasionalisme untuk melawan narasi ekologis yang disampaikan para penggiat lingkungan hidup.
Narasi ekonomi dibangun untuk menggambarkan bahwa produksi perkebunan sawit yang beroperasi di hutan dan lahan gambut adalah penyumbang devisa negara. Jutaan orang pun diklaim bergantung hidupnya dari perkebunan sawit yang beroperasi di hutan dan lahan gambut. Kampanye penyelamatan lingkungan hidup dengan narasi ekologi pun dituding tidak peduli terhadap jutaan orang yang hidupnya tergantung pada perkebunan sawit tersebut.
Dari narasi ekonomi itulah, para pembela sawit, kemudian menggorengnya lagi menjadi narasi nasionalisme. Narasi nasionalisme dibangun atas dalih hasil perkebunan sawit itu merupakan penghasil devisa, sehingga kampanye penyelamatan lingkungan hidup dengan narasi ekologi, tak lebih adalah upaya untuk menghancurkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Aktor-aktor yang mengkampanyekan penyelamatan lingkungan hidup pun dituding sebagai antek asing.
Narasi ekonomi yang berkembang menjadi narasi nasionalisme pun berujung pada penciptaan label negatif sebagai antek asing terhadap pembawa pesan kampanye perubahan iklim. Narasi nasionalisme ini digunakan untuk 'membunuh' pembawa pesan (kill the messenger).
Dengan labeling terhadap pihak-pihak yang mengkampanyekan penyelamatan lingkungan hidup sebagai antek asing, maka semua narasi ekologi tentang lingkungan hidup menjadi tidak relevan.
Pertanyaan berikutnya tepatkan narasi ekonomi dan nasionalisme itu digunakan untuk melawan narasi ekologi dalam penyelamatan lingkungan hidup?
Untuk menggugat narasi nasionalisme, terlebih dahulu kita perlu memeriksa dalih bahwa perkebunan sawit yang berada di hutan dan lahan gambut itu menguntungkan Indonesia secara ekonomi.
Mungkin benar bahwa secara total hasil dari perkebunan itu menyumbang devisa. Namun pertanyaannya siapa sejatinya yang menikmati hasil perkebunan skala besar di hutan dan lahan gambut itu?