Lihat ke Halaman Asli

Firdaus Cahyadi

TERVERIFIKASI

Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

BW yang Tidak Saya Kenal

Diperbarui: 27 Mei 2019   09:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejatinya saya tidak mengenal BW secara langsung. Saya mengenal BW di sebuah koran di pertengahan 1990 an. Pemberani, itu kesan saya setelah membaca artikel tentang dirinya. Bagaimana tidak, ia lantang bersuara di saat sebagian besar orang tiarap karena takut moncong senapan para centeng kekuasaan menyalak. Ia berani berkata tidak, di saat sebagian besar orang tunduk pada kekuasaan yang menindas. Itulah BW.

BW muncul di tengah masa-masa sulit. Ia berdiri tegak bersama mereka yang menolak tunduk pada kekuasaan yang korup, militeristik dan menindas. Ia sudah pasti melawan segala bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk penculikan anak-anak muda oleh para centeng kekuasaan. Penculikan adalah pelanggaran HAM, katanya dulu di tahun 1990-an. Ia lantang menentang segala bentuk pelanggaran HAM.

Bukan hanya pelanggaran HAM yang ia lawan. BW juga getol melawan korupsi. Kekuasaan yang absolut cenderung melanggar HAM dan korup. Pelanggaran HAM dan tindak korupsi bagaikan dua sisi mata uang. Begitu kira-kira teorinya.

Jangan ditanya bagaimana BW begitu anti-korupsi dan anti-pelanggaran HAM. Ia sosok anak muda yang teguh memperjuangkan keduanya.

Waktu berlalu. Hingga ada berita bahwa BW menjadi pengacara seseorang capres yang pernah mangkir ketika dipanggil KOMNAS HAM. BW menjadi pengacara mantan jenderal Orde Baru yang kebetulan menjadi capres di sengketa pilpres. 

Salah satu komisioner KOMNAS HAM pada 2014, Roichatul Aswidah mengungkapkan bahwa mantan jenderal yang jadi capres itu pernah diundang untuk memberikan keterangan terkait kasus penculikan aktivis pada tahun 2006. Namun sang jenderal itu mangkir. Gelaplah kasus penculikan anak-anak muda yang menantang Orde Baru di tahun 1997-1998 itu hingga kini.

"Inilah pemilu terburuk di Indonesia selama Indonesia pernah berdiri," ucap BW dalam jumpa pers di Gedung MK, Jakarta, Jumat (24/5/2019).

Jadi menurut BW pemilu 2019 ini lebih buruk dibandingkan pemilu di era Orde Baru, yang hasil pemilunya sudah bisa diketahui tanpa perlu quick count dan survei dengan metode matematika. 

Pemilu 2019 lebih buruk daripada pemilu di era Orde Baru yang mewajibkan penduduk desa mengecat rumahnya dengan warna kuning, warna dasar dari peserta pemilu pendukung Soeharto. 

Jadi pemilu 2019 lebih buruk daripada pemilu di era Orde Baru yang memaksa orang-orang untuk memilih satu peserta pemilu dan tidak boleh mengkritik kepemimpinan nasional. Listrik di desa tidak masuk bila warga desanya tidak patuh memilih peserta pemilu tertentu. 

Ah, BW juga sudah pasti tahu, ratusan ribu hingga jutaan orang dipenjara dan dibunuh tanpa proses pengadilan, di awal-awal kekuasaan Orde Baru berdiri. Dan pola kekerasan itu terus direproduksi dan dikelola untuk menakut-nakuti rakyat selama Orde Baru berkuasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline