Lihat ke Halaman Asli

Firdaus Cahyadi

TERVERIFIKASI

Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Regenerasi Petani, Sinyal Positif dari Jokowi di Periode ke-2

Diperbarui: 21 Mei 2019   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhirnya dua petani Desa Surokonto, Kabupaten Kendal, Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin bisa bergembira. Bagaimana tidak, mereka  baru saja mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Kedua petani asal Kendal itu mengalami kriminalisasi akibat konflik agraria.

Kriminalisasi petani tentu membuat para petani tidak nyaman dalam bekerja. Mereka, kaum tani hanya ingin tidak tersingkir dari sumber-sumber kehidupannya. Namun, seringkali bukannya sumber-sumber kehidupannya yang didapatkan namun justru jeruji besi. 

Bukan hanya dikriminalisasi, sebagian petani justru dibunuh ketika memperjuangkan hak-haknya. Bekerja menjadi petani memiliki resiko yang cukup tinggi di negeri ini, jika tidak kehilangan tanah ya masuk penjara atau dibunuh.

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), seperti ditulis oleh KATADATA, mencatat sedikitnya 364 orang menjadi korban dari konflik agraria di Indonesia sepanjang 2018. 

Dari jumlah tersebut,  sepuluh orang petani dan pejuang agraria telah terbunuh. Enam orang tertembak karena konflik agraria. Kemudian, ada 132 orang yang terdiri dari 115 laki-laki dan 17 perempuan mengalami tindakan kekerasan fisik atau penganiayaan. Sebanyak 216 orang ditahan tanpa prosedur yang jelas.

Data-data yang disamapikan KPA telah membuat kita miris. Ini salah satu yang menyebabkan anak-anak muda tidak ingin menjadi petani. Terlalu beresiko dan berbahaya. Rentannya, petani mengalami kriminalisasi hingga pembunuhan berakar dari konflik agraria yang tak terselesaikan dengan adil. 

Jumlah konflik agraria di negeri ini masih cukup banyak. Berdasarkan data KPA, seperti ditulis kompas.com, terjadi 659 konflik agraria sepanjang 2017, dengan luasan mencapai 520.491,87 hektar (ha). Jumlah korban yang berjatuhan dari pihak petani pun berbanding lurus dengan jumlah konflik agraria yang terjadi. Semakin tinggi jumlah konflik agaria semakin tinggi pula petani yang menjadi korban.

Konflik agraria yang menyebabkan jatuhnya korban di pihak petani adalah 'teror' bagi generasi muda untuk bekerja menjadi petani. Tidak ada anak muda yang ingin menghabiskan sisa umurnya di dalam penjara karena kriminalisasi petani. 

Bahkan tidak ada pula anak muda yang ingin nyawanya melayang hanya karena mempertahankan tanah pertaniannya dalam sebuah konflik agraria. Situasi ini harus dihentikan bila kita ingin generasi muda tetap berminat menjadi petani. Surutnya minat generasi muda untuk menjadi petani adalah lampu kuning bagi kedaulatan pangan.

Pemberian grasi terhadap dua petani Kendal bisa jadi memberikan sinyal positif dari Presiden Jokowi, bahwa di periode ke-2 pemerintahannya, negara akan berposisi membela kepentingan kaum tani. Tentu membebaskan dua petani Kendal dari kriminalisasi saja tidaklah cukup. 

Langkah itu harus disusul dengan  pemulihan hak-hak petani yang dikorbankan selama terjadinya konflik agraria. Tanah-tanah yang dirampas dari kaum tani segera dikembalikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline