Lihat ke Halaman Asli

Firdaus Cahyadi

Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Andai Saya Menteri Agama

Diperbarui: 30 Juli 2018   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Beberapa waktu yang lalu, saya menerima banyak doa menjadi haji mabrur, melalui pesan whatsApp (WA). Padahal saya sedang tidak naik haji.  Ceritanya, saya iseng mengirim pesan via WA ke beberapa group yang saya ikuti, dengan kalimat seperti ini, 

"Assalamualaikum wr wb. Pada kesempatan ini saya mohon dibukakan pintu maaf seluas-luasnya kalau selama ini saya ada khilaf ada salah kata, perbuatan yang kurang berkenan. Mohon pamit..mohon doa restu.. Insya Allah, hari jumat 27 juli 2018 jam 11.30 saya akan berangkat memenuhi panggilanNya menunaikan kewajiban saya sebagai umat Islam. Mohon doa agar selama perjalanan baik berangkat dan pulang kembali ke rumah diberi keselamatan tidak kurang suatu apapun, selalu diberi kesehatan, kekuatan dan merasa nyaman, semoga cuaca selama saya beribadah juga tidak terlalu panas sehingga bisa menambah kekhusukan saya selama menjalankan ibadah sholat Jum'at."

Padahal, di akhir tulisan itu jelas bahwa saya akan menjalankan sholat Jum'at bukan ibadah haji. Pertanyaannya, kenapa sebagian besar anggota group WA mendoakan saya karena menyangka saya akan beribadah haji? Jawabannya sederhana. Sebagian dari penerima pesan WA dari saya tidak membaca seluruh kalimat yang saya tulis itu. Sebagian mereka hanya membaca awal dan tengah kalimat kemudian menyimpulkan bahwa saya akan berangkat haji. 

Karena kesimpulan itulah kemudian mereka ramai-ramai mendoakan saya menjadi haji mabrur. Saya sih bersyukur didoakan seperti itu dan hanya menjawab Amien Ya Robbal Alamin. 

Dari kejadian itu saya jadi paham, di era digital saat ini, kita cenderung mengutamakan informasi yang cepat, namun mengorbankan kedalaman. Karakter dari pengguna media sosial di era digital ini yang kemudian dimanfaatkan oleh para penyebar kebencian dan intoleransi dengan cara memanipulasi, memenggal dan mencerabut informasi terkait agama dari konteks sosialnya. 

Karakter mengutamakan kecepatan dan mengorbankan kedalaman itulah yang membuat konten hoax dan kebencian atas dasar perbedaan agama, suku dan ras beredar luas di media sosial. Ini jelas merupakan ancaman bagi persatuan negeri yang beragam seperti Indonesia ini. Nah, bagaimana seandinya saya sebagai menteri agama menangkal konten negatif yang mengatasnamakan agama di media sosial?

Andai saya menteri agama, ada beberapa langkah yang bisa saya lakukan. Pertama, saya akan melakukan pendidikan publik,  literasi media sosial. Target dari pendidikan literasi media sosial ini adalah jajaran kementerian agama di pusat hingga daerah dan anak-anak muda pengguna media sosial. 

Dalam pendidikan literasi media sosial itu, bukan hanya meningkatkan kapasitas peserta untuk mengindentifikasi konten negatif di media sosial namun juga mampu menciptakan konten positif di media sosial. Konten positif di media sosial itu misalnya, konten yang berisi konten-konten perdamaian dan tolenransi di Indonesia. Saya yakin fakta di lapangan, banyak sekali praktik-praktik toleransi antar umat beragama namun tenggelam oleh berbagai konten negatif yang menghasut perpecahan di media sosial.

Kedua, setalah mendapatkan pendidikan publik literasi media, saya akan mewajibkan peserta pendidikan publik yang berasal dari staf kementerian agama untuk memproduksi konten positif di media sosial yang berisi pesan-pesan damai dan toleransi antar umat beragama. Publikasi konten positif mereka di media sosial akan saya masukan dalam bagian penilaian kinerja staf di jajaran Kementerian Agama.

Ketiga, setelah menggelar pendidikan publik literasi media sosial, saya akan menggelar lomba cipta konten toleransi di media sosial. Peserta dari lomba ini adalah seluruh pengguna media sosial, baik yang telah ikut pendidikan publik tentang literasi media sosial atau belum. Tujuan dari lomba ini, tak lain adalah untuk memperbanyak kuantitas konten positif mengenai keberagaman di media sosial.

Keempat, bekerjasama dengan pihak kepolisian, saya akan membuka posko pengaduan penyebaran konten negatif berisi hoax dan ujaran kebencian yang didasarkan atas manipulasi pesan-pesan agama. Tindakan ini perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera bagi produsen hoax dan ujaran kebencian yang menyebarkan konten negatifnya di media sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline