Lihat ke Halaman Asli

Firdaus Cahyadi

TERVERIFIKASI

Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Jakarta, Terlalu Indah untuk Dibakar Konflik SARA

Diperbarui: 29 Agustus 2016   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah menjadi takdir Tuhan, bahwa Indonesia adalah negeri dengan keberagaman suku dan agama. Takdir ini harus disyukuri, karena itu adalah bagian dari kekayaan negeri ini. Namun, akhir-akhir ini kita sering mendengar keberagaman itu mulai terkoyak. Perbedaan agama seakan menjadi halangan bagi kita, sesama warga Indonesia untuk saling menyapa. Bahkan, bukan hanya pada warga yang berbeda agama, dengan sesama warga yang seagama namun berbeda madzab pun kini mulai terasa renggang. 

Berbagai provokasi kebencian dengan dasar perbedaan agama dan keyakinan dengan mudah sampai di dalam kamar tidur kita melalui gadget yang kita miliki. Provokasi kebencian itu hadir di media sosial hingga watshapp (WA). Padahal sebagian provokasi itu ternyata jauh dari fakta yang sebenarnya. Maraknya penggunaan media sosial membuat sebagian dari kita memperoleh informasi (yang benar ataupun salah) dengan cepat, namun mengorbankan kedalaman.

Akibatnya, kita mudah dihasut untuk membenci kelompok agama tertentu tanpa kita tahu kenapa kita harus membencinya. Bahkan saking kita mengorbankan kedalaman informasi akibat hasutan kebencian yang tidak jelas, kita pun kadang lupa ajaran agama kita sendiri mengenai toleransi.

Islam, agama yang saya anut, sependek pengetahuan saya melarang umatnya menghancurkan rumah ibadah agama lain, meskipun dalam kondisi perang. Terlebih dalam kondisi damai. Namun, kenapa ajaran yang begitu mulia itu dilupakan? 

Ya, karena hasutan kebencian telah mengisitirahatkan akal sehat kita. Mata kita seperti tertutup fakta yang sebenarnya terjadi. Dan memang itulah tujuan dari hasutan berlandaskan SARA. Para penghasut itu ingin kita bertengkar sehingga melupakan pokok persoalan yang sebenarnya. Tujuannya agar pokok persoalan yang sebenarnya itu tidak disadari sehingga tetap terus ada karena itu justru menguntungkan bagi mereka.

Salah satu pokok persoalan di masyarakat yang sering ditutup-tutupi atau dibelokan ke isu SARA adalah persoalan ketimpangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Di Jakarta, Ibukota Indonesia misalnya, hal itu dengan mudah bisa dilihat. Namun, kesadaran akan adanya ketimpangan itu kini ingin dikaburkan dengan isu SARA, apalagi menjelang Pilgub 2017 mendatang.

Sebagian besar lahan di Jakarta misalnya, telah dikuasai oleh segelintir orang-orang kaya, terlepas dari apapun latarbelakang suku, agama dan golongannya. Model pembangunannya pun diarahkan untuk melayani kepentingan mereka. Kawasan komersial, pemukiman mewah dibangun meskipun itu mengorbankan daerah resapan air. Bahkan, pasokan lahan untuk membangun kawasan komersial dan pemukiman mewah orang-orang kaya pun terus dilakukan dengan melakukan reklamasi Teluk Jakarta, meskipun itu merusak ekologi dan meminggirkan nelayan.

Model pembangunan kota yang bias kelas menengah atas itu kini sebenarnya mulai disadari oleh sebagian warga Jakarta. Tapi, nampaknya ada 'tangan-tangan' yang tak nampak yang ingin membelokan kesadaran warga kota itu menjadi kebencian berlandaskan SARA. Tujuannya paling tidak ada dua. 

Pertama, agar kekuatan masyarakat yang sadar dan hendak membongkar model pembangunan kota yang bias kelas menengah itu menjadi terpecah belah kedalam perbedaan ras, etnis dan agama. 

Kedua, jelas agar model pembangunan yang bias kelas menengah itu tetap dipertahankan. 

Jakarta terlalu indah untuk dibakar dan dihancurkan oleh konflik SARA. Selain, akan menimbulkan kekerasan yang tak berujung, konflik SARA juga akan mengaburkan persoalan kota yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Pilgub DKI 2017, marilah kita bicara tentang banjir, krisis air, penggusuran warga miskin kota yang tak manusiawi, proyek reklamasi Teluk Jakarta yang menyingkirkan nelayan dan merusak lingkungan serta model-model pembangunan kota yang hanya membuat si kaya tertawa di atas penderitaan warga miskin kota. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline