Mungkin kita sudah lupa bahwa tanggal 29 Mei tahun ini, genap 10 tahun lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan warga Sidoarjo. Wajar bila kita sudah lupa, karena memang kita didesain agar melupakan kasus lingkungan hidup terbesar di negeri ini tersebut. Lho kok bisa, gimana ceritanya?
Begini ceritanya. Kita dengan mudah melupakan kasus lumpur Lapindo karena kita berasumsi pemerintah telah memberikan dana talangan untuk pembayaran ganti rugi terhadap korban. Semua happy..
Namun, benarkah demikian. Ternyata tidak. Karena yang dimaksud ganti rugi untuk korban lumpur itu sejatinya hanya proses jual beli aset tanah dan rumah yang ditenggelamkan lumpur. Sebuah jual beli yang dipaksakan. Karena jika tidak terjadi semburan lumpur, warga mungkin tidak mau menjual tanah dan rumahnya itu. Nah, karena ini proses jual beli aset, maka persoalan meningkatnya biaya kesehatan akibat kerusakan lingkungan hidup setelah munculnya semburan lumpur tidak pernah diperhitungkan. Begitu pula persoalan siapa yang harusnya bertanggung jawab untuk merehabilitasi lingkungan hidup yang sudah rusak karena semburan lumpur itu.
Para pengambil kebijakan di negeri ini merasa perlu untuk mendesain agar kita semua sesegera mungkin melupakan kasus semburan lumpur. Karena di bawah tanah Sidoarjo masih banyak tersimpan kandungan migas. Jangan sampai ingatan publik terhadap kasus lumpur Lapindo justru membangkitkan perlawanan terhadap rencana perusahaan dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas di dalam tanah Sidoarjo.
Sidoarjo adalah ladang bagi korporasi untuk mengakumulasikan kapital dari sektor pertambangan migas. Karena itulah pemerintah harus melindungi kepentingan korporasi dan mengabaikan keselamatan warganya. Dalam konteks itulah kasus lumpur Lapindo harus dihapus dari memori kolektif masyarakat. Tujuannya agar tidak menganggu investasi. Bukankah model pembangunan kita saat ini adalah, "Investor adalah panglima, dan Rakyat adalah tumbalnya"
Nah, sekarang masih ingatkah kita bahwa 29 Mei tahun ini, 10 tahun lumpur Lapindo? Mari bersama kita rawat ingatan kita agar tidak mudah dijadikan tumbal pembangunan demi kepentingan segelintir pemilik modal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H