Lihat ke Halaman Asli

Firdaus Cahyadi

TERVERIFIKASI

Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Menyoal Konglomerasi Media Baru

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1311235143772043912

Tulisan saya ini pernah di Harian Bisnis Indonesia, 18 Juli 2011 Seorang siswa sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) tampak sedang memainkan handphone di tangannya dalam sebuah metromini jurusan Manggarai-Lebak Bulus, Jakarta. Ia bukan sedang menerima telepon atau sms, namun sedang membuka halaman salah satu situs jejaring sosial di internet. Bagi warga yang hidup di kota besar, berselancar di internet kini bisa dilakukan dimana saja melalui handphone. Apa yang dilakukan oleh siswa SMP di Jakarta tersebut di atas menunjukan betapa pesatnya perkembangan teknologi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) begitu pesat di dunia akhir-akhir ini. Dengan perkembangan pesat TIK itulah, jarak menjadi kian tidak berarti. Kecepatan aliran informasi pun begitu cepat. Perkembangan TIK itu juga mempengaruhi cara kita mendapatkan informasi. Jika sebelumnya kita mendapatkan sumber informasi secara konvensional seperti, dari televisi, koran, majalah dan radio maka kini kita juga dapat mendapatkan sumber informasi secara sangat cepat dari internet. Perubahan prilaku kita dalam mencari informasi juga terjadi di Indonesia. Lihat saja, pengguna internet di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup pesat dalam sepuluh tahun terakhir ini. Pada tahun 2007, menurut Buku Putih "Komunikasi dan Informatika Indonesia" yang diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2010, prosentase keluarga Indonesia yang memiliki akses internet sebesar 5,58 persen. Dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 8,56 persen. Sementara menurut Plt Dirjen Postel Muhammad Budi Setiawan, seperti ditulis oleh detik.com Juni 2010, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai angka 45 juta. Pesatnya perkembangan internet tersebut merupakan peluang baru bagi industri media massa. Internet adalah kanal baru bagi penyebaran informasi media massa. Tak heran, sekarang hampir setiap industri media masa konvensional, seperti koran cetak, majalah, televisi dan sebagaian radio memiliki media online. Sebagian media online yang mereka miliki bukan hanya berfungsi sebagai website institusi yang berisi company profile namun juga merupakan portal berita. Bukan hanya itu saja, perkembangan social media di internet juga dimanfaatkan oleh industry media besar itu. Rata-rata media besar, kini memiliki account di twitter dan facebook. Dengan media social itu informasi dari medianya disebarkan secara meluas. Tidak berhenti sampai disitu. Beberapa pemilik media massa besar pun mencoba membeli portal berita. Kabar bahwa detik.com, sebuah portal berita terkenal, akan diakusisi oleh Group Para, pemilik Trans TV menjadi berita hangat akhir-akhir ini. Bahkan secara lugas, Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) Anindya Novyan Bakrie saat memaparkan Bakrie Telecom, Media and Technology (BakrieTMT2015), seperti ditulis oleh salah satu portal berita menyatakan, akan menyinergikan lini bisnis telekomunikasi (BTEL), media (VIVA Group) dan teknologi (BConn dan BNET) sampai dengan tahun 2015. Untuk sinergi tersebut BTEL akan menanam investasi senilai Rp 5 triliun. Dapat dikatakan sekarang kita masuk dalam era konglomerasi 2.0. Istilah 2.0 diambil dari perkembangan muktahir aplikasi website yang kian interaktif. Jika demikian konglomerasi 2.0 adalah sebuah konglomerasi di media massa yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut Don Bosco Salamun, dari Berita Satu Media Holdings, saat menjadi pembicara di konferensi media baru yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada bulan Juli 2011 ini, mengungkapkan bahwa konglomerasi media adalah sesuatu yang sulit atau bahkan tidak bisa dihindarkan. Karena dengan penyatuan kepemilikan media itu dapat menjadikan operasional industri media lebih efisien. Seorang wartawan misalnya, dapat membuat satu berita bukan hanya untuk satu kanal namun juga beberapa kanal sekaligus. Namun konglomerasi media bukan hanya persoalan bisnis. Pemusatan kepemilikan media berpotensi menimbulkan hegomoni wacana di publik. Pengertian dari hegomoni itu sendiri adalah dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan tersebut diterima sebagai sesuatu yang wajar. Dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo misalnya, salah satu kelompok media besar yang memiliki media online dan televisi menyebut semburan lumpur itu sebagai lumpur Sidoarjo atau lumpur Porong bukan lumpur Lapindo. Sebutan itu tentu saja menggiring opini publik bahwa semburan lumpur adalah bencana alam bukan akibat pemboran. Mungkin benar bahwa seiring dengan perkembangan TIK yang kian menyatu ini, konglomerasi media sulit dihindari. Namun, jika konglomerasi media itu sudah terjadi maka dijadikannya media sebagai corong kepentingan group bisnis pemiliknya juga sangat sulit dihindari. Bahkan bisa jadi hal itu merupakan sebuah keniscayaan dari munculnya konglomerasi media. Di era digital ini, publik juga mampu melawan atau sekedar mengimbangi dominasi wacana yang dimunculkan oleh media mainstream yang telah dikuasai oleh para konglomerat itu. Publik pengguna internet misalnya, dapat menuliskan ‘perlawanan' wacana itu di blog, website dan kemudian menyebarkannya di media social seperti facebook dan twitter. Tapi, pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana perlawanan terhadap hegomoni wacana itu dapat dilakukan? Menurut Riset "Netizen Indonesia 2010" yang dilakukan oleh MarkPlus Insight menyebutkan komunitas dari NetAdvocate hanya berjumlah 1,0 %. Pengertian NetAdvocate adalah para influencer yang memiliki idealisme tentang keterbukaan, persamaan, kebebasan berbicara, dan kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide mereka kepada masyarakat. Apa artinya itu? Perlawanan terhadap hegomoni wacana yang ditimbulkan dari konglomerasi media tidak bisa diserahkan ke hukum rimba, siapa kuat dia yang menang. Negara harus intervensi untuk membela kepentingan publik. Intervensi Negara itu berupa produk kebijakan yang mengatur secara ketat dan tegas konglomerasi media. Pembahasan RUU Konvergansi Telematika, RUU revisi UU Penyiaran dan RUU Revisi UU ITE adalah pintu masuk bagi Negara untuk melindungi dan membela warganya dari bahaya konglomerasi media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline