Lihat ke Halaman Asli

Pidato Semprul 17 Skala Richter

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13773543311555444054

Cinta Indonesia, foto koleksi pribadi

.

Sudah sejak kemarin malam si Doel memeras otak, mencari ide untuk bahan pidatonya. Entah apa motivasi pengurus RW mendaulat Doel Semprul untuk berpidato kebangsaan di pembukaan tujuhbelasan nanti sore di lapangan. Dan sekarang sudah pagi. Permintaan para pengurus RW dipandangnya sebagai sebuah penghormatan dan pengakuan atas ke-seniman-an dirinya yang mbeling tapi kritis. Ya belum sehebat Sujiwo Tejo atau Emha lah..tapi si Doel merasa menjalankan peran yang sama sebagai “penyeimbang” dalam kehidupan kemasyarakatan.

Apanya yang harus diseimbangkan? Karena masyarakat kini sudah terlalu materialistis, sehingga cara pandangnya sudah terjebak dalam alam kebendaan untung-rugi jual-beli. Mereka tidak mampu lagi melihat segi-segi lain yang lebih dalam, lebih halus, lebih subtil, lebih esensiil. Tentang manusia dan fenomena. Masyarakat kini selalu terburu-buru dan ingin serba cepat. Cepat kaya, cepat pintar, cepat hebat, cepat terkenal, cepat naik pangkat, cepat terhormat. Hidupnya sehari-hari sibuk mencari-cari kesempatan peluang, lubang, loop holes, untuk mendapatkannya secara instan. Peduli amat soal nasionalisme, yang penting merdeka untuk melakukan apapun dan mendapatkan apapun yang dimau.  “Semprul !”, semprot si Doel geregetan sambil nongkrong di kloset kamar mandi.

“Aku harus menyadarkan mereka! Tentang apa arti merdeka yang sesungguhnya. “.

Tapi yang jelas pidatonya tidak akan seperti pidatonya para pejabat di upacara kantoran, yang datar membosankan seperti sedang membaca laporan atau malah disposisi kerjaan. Pidato mereka jika dibukukan, pasti tidak akan ada yang mau beli. Ah..sudah tak pernah lagi didengarnya pidato yang mampu membakar semangat sebagaimana pidato-pidato “Di Bawah Bendera Revolusi”-nya Bung Karno. Tak ada lagi pidato kebangsaaan yang menggetarkan dan menggerakkan, seperti pidatonya Bung Tomo di Surabaya. “Pidatonya Doel Semprul harus seperti itu!”, seru Doel dalam hati bersemangat.

Si Doel kembali memutar otaknya. Biasanya ia mendapatkan ide-ide yang orisinil di saat-saat seperti ini. Dalam keheningan kamar mandi, aroma karbol pewangi, gemericik air keran yang mengisi ember, dan suara gerojokan flush sesekali.

13773546082131172731

Merah Putih, foto koleksi pribadi

Sore hari. Para undangan sudah hadir menempati kursi. Lagu-lagu perjuangan berkumandang lantang. Mengingatkan tentang episode memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajah.  Panggung semarak hiasan kain warna merah dan putih. Juga ada balon warna merah dan putih. Jumlahnya masing-masing enam puluh delapan. Di latar belakang panggung ada tulisan tema besar perayaan HUT Kemerdekaan tahun ini. Sebuah tema peringatan yang (justru) mensiratkan kekhawatiran pemerintah tentang suasana negeri menjelang tahun depan, di mana banyak orang akan saling sikut saling injak saling terkam saling menghancurkan demi sebuah jabatan.

Setelah MC membuka acara, ketua panitia kemudian melaporkan segala rencana kegiatan perayaan tujuhbelasan di lingkungan perumahan ini, lomba-lomba olahraga, kesenian dan juga peragaan busana. Pak Lurah manggut-manggut, Pak RW tertawa senang, Pak Bupati jaim menjaga wibawa. Acara selanjutnya, MC mempersilakan Doel Semprul naik ke panggung diiringi keplok tangan ratusan penonton dan undangan. Saatnya pidato kebangsaan..

“Soedara-Soedara sebangsa setanah-air, apa artinja merdeka itoe? Apa artinja tjinta tanah air itoe?...”. Suara si Doel menggelegar melalui pengeras suara besar. Semua penonton terkesima menyimak mendengarkan.

“Merdeka itoe adalah menjadi seboeah bangsa jang mandiri! Bangsa jang bisa membangoen negeri dengan modal kekoeatan sendiri. Bangsa jang memboektikan, bahwa ija mampoe membikin tempe jang kedele-nja ditoemboehkan sendiri di tanah boemi ini. Bangsa jang memberi makan rakjat-nja dengan nasi jang sepenoehnja hasil padi negeri sendiri.

Tjinta tanah air itoe, artinja bangga dengan apa jang Indonesia poenja. Meskipoen sederhana, tapi diboeat oleh tangan kita sendiri. Tjinta barang Indonesia dari oejoeng kaki hingga oejoeng kepala. Boeang semuanja jang boekan hasil boeatan negeri ini. Boeang dan lepaskan!. Tjinta tanah air itoe djangan cuma koar-koar, tapi haroes diboektikan!....”

Si Doel suaranya makin menggelegar, semakin keras semakin menekan. Dan di puncaknya, tiba-tiba Doel membuka bajunya..dan melemparkannya ke depan panggung!  Orang-orang kaget. Tapi Doel meneruskan membuka kaos singlet putihnya. Dilemparnya kaos singlet terbang melayang ke udara.  Warga  ramai berteriak. Tak berhenti disitu, si Doel malah melorotkan celana panjangnya! Ibu-Ibu PKK menjerit-jerit sambil menutup mata dengan tangan mereka. Si Doel kini bertelanjang dada, perutnya buncit berkeringat melar, cuma mengenakan kolor kain putih longgar. Pak Lurah melotot matanya mau keluar.

“Merdekaa!....Merdekaa !...”, Doel trance mencapai klimaksnya.

Suasana mendadak heboh dan lapangan terguncang. Melihat bapaknya telanjang hanya berkolor di atas panggung, si Mamat ikut-ikutan menelanjangi dirinya. Bocah playgroup itu melepas baju dan celananya sambil tertawa-tawa senang. Bocah-bocah lain sebayanya ikut-ikutan telanjang. Mereka kemudian berlarian telanjang kejar-kejaran di lapangan. Melompat-lompat sambil bersorak-sorak kegirangan.

.

Merdeka! Semarak Tujuhbelasan duaribu tiga belas

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline