.
[caption id="attachment_216588" align="alignleft" width="347" caption="foto dari Shutterstock"][/caption] Lama kelamaan mereka terbiasa dengan kehadirannya. Ia selalu datang pada waktu yang seperti ini, selepas senja menjelang malam membuka. Ia berdiri di depan pagar rumah mereka, di bawah temaram lampu jalan yang membiaskan kuning pada permukaan jalanan kompleks perumahan. Seringkali juga ia masuk hingga ke beranda, yang lampunya baru saja menyala. Tapi ia selalu hadir setiap hari, pada waktu-waktu yang sama, dan menyapa mereka dengan bunyi yang sama, “ting!...”
Biasanya mereka hanya membuka pintu sedikit dan tangan-tangan menyodorkan apa yang ia minta. Atau menyuruh asisten mereka untuk keluar ke depan pagar dan membawakan apa yang ia cari. Memasukkannya ke dalam gendongan kain batik hitam, yang dari lusuh warnanya pasti sudah berusia sama dengan pemiliknya. Juga sama tuanya dengan kain jarik yang dikenakannya. Biasanya ia akan mengangguk pelan dan kemudian tertatih pergi dengan langkah kecilnya yang tak beralas kaki. Melanjutkan mengetuk pintu-pintu rumah berikutnya, sambil menjentikkan jarinya yang kecil pada sebuah toples kaca berwarna bening ..“ting!...”
..
Ada tumpukan toples kaca bening dimana-mana di rumah di atas perbukitan ini. Dan perempuan yang rambutnya bergelung putih itu membuat tumpukan semakin berdesakan dengan apa yang dibawanya setiap hari. Setiap malam, ia pulang dengan gendongan kain batik hitamnya yang penuh atau setengah penuh, membawanya langsung ke kamar belakang. Dan ia akan menghabiskan waktu semalaman di sana seakan tak mengenal lelah. Mengeluarkan dengan hati-hati dari dalam gendongan, mencucinya satu demi satu dengan basuhan air dan usapan lembut telapak tangannya.
Kemudian ia akan membuat air larutan gula, yang ke dalamnya ia masukkan satu-satu dan merendamnya hingga esok hari..lusa..hingga empat hari ke depan. Pada malam yang sama, ia juga akan meniriskan apa yang sudah ia rendam empat hari lalu. Dan memasukkan satu demi satu ke dalam toples-toples kaca.Setiap malam, selama tiga ratus hari lebih dalam setahun, ia membuatnya menjadi manisan dalam toples demi toples kaca berwarna bening. Yang kemudian ia berbisik kepada mereka,
“Mari kuabadikan dirimu, karena mereka tak terbiasa lagi berlama-lama menyimpanmu. Tak ada lagi kata ‘memendam’ karena semua yang terbersit langsung mereka muntahkan melalui alat-alat yang mereka genggam. Tak ada kata ‘mengenang’ karena kau mati pada hitungan detik dalam ruang ingatan mereka. Tak ada lagi kata ‘makna’ karena mereka tak pernah sempat lagi mencerna.”
..
"Ting!.." jarinya yang kecil menjentik toples kaca berwarna bening, di depan gerbang dan teras rumah mereka, Di sore hari pada setiap menjelang pergantian tahun seperti hari ini. Kepada mereka ia bawakan setoples manisan kenangan, yang telah ia abadikan dalam larutan gula selama tiga ratus hari lebih dalam setahun. Sebagai manisan yang bisa mereka nikmati sambil menyeruput teh panas atau kopi. Sembari mencari makna dari setiap gigitannya.
..
Selamat Tahun Baru 1434 Hijriyah.
Foto dari shutterstock.
…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H