Lihat ke Halaman Asli

[Fiksi Misteri] Tungau Api

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13325017621723508280

.. Tak seorangpun yang bisa menjelaskan dari mana mereka berasal. Tiba-tiba saja mereka terlihat di semua penjuru desa, seperti mewujud dari ketiadaan hampa. Pada hari pertama sekitar seribuan jumlahnya, muncul merayap dari area persawahan. Para tukang kayu tidak mengenalnya, karena meski sama berwarna putih mereka bilang itu bukan rayap. Para ibu yang suka berkerumun di atas bale-bale juga tidak mengenalnya, meski mereka sekecil-kecil kepinding dan berbau seperti kutu. Pada hari kedua jumlah mereka sudah mencapai seratusribuan. Entah bagaimana mereka berlipat jumlah seratus kali dalam waktu semalam. Entah bertelur, entah menggandakan diri mereka begitu saja. Kini mereka merayap memanjati tiang-tiang rumah, berlompatan di pakaian yang digantung di jemuran, berlompatan di atas genting dari rumah ke rumah, merayapi jalan raya di antara roda-roda pedati dan sepeda...menuju kota!... ... Penduduk desa yang kena sengatnya terasa panas terbakar tubuhnya, begitu kata para pembawa berita. Para saksi yang diwawancara menceritakan, seperti ada hawa panas yang menyeruak dari dalam tubuh, untuk kemudian terlepas melalui lubang hidung mulut dan telinga menguap ke udara. Televisi menayangkan gambar-gambar sengatan yang membengkak matang merah. Awalnya hanya seperti bisul sebesar biji kacang hijau. Lama kelamaan membesar membengkak. Bengkaknya seperti menahan sesuatu yang mendesak-desak ingin keluar dari bawah jaringan kulit. Dari hari ke hari terasa semakin mengencang. Para dokter juga kebingungan, karena jika bengkak itu ditusuk hanya udara panas terasa yang keluar. Tidak ada darah, tidak ada nanah. Kemudian akan muncul lagi bengkak di bagian tubuh yang lain. Penduduk kota menutup wajah-wajah mereka dengan rasa jijik bercampur ketakutan. Para gadis memalingkan wajah mereka sambil menjerit. Para orangtua menutupi mata anak-anak kecil mereka. Dan kini jutaan bahkan puluhan juta makhluq kecil itu tampak sudah merayap memasuki gerbang kota. Bagaikan air bah kini mereka tak terbendung merangsek memasuki kota-kota, memenuhi jalan-jalan bebas hambatan, memasuki gedung-gedung perkantoran, menyerbu gedung perwalian rakyat dan merayapi perabotan di dalam istana negara. Seluruh kota kini penuh dengan mereka, menyengat dan menggigiti... ... Perempuan sepuh itu mencabut rumput liar yang mulai tumbuh di sekitar gundukan tanah di hadapannya.  Warna tanahnya masih merah dan satu dua bunga kamboja putih jatuh dari ranting-rantingnya yang melintasi gundukan, yang dengan tak sengaja menghiasinya. Mbok Krani merapihkan butiran tanah dengan telapak tangannya yang tua. Dalam sapuan lembut ia bisa melihat wajah cucu lanang-nya yang kini terbaring di bawah sana. Dengan wajah dan tubuh yang hangus menghitam akibat dibakar massa. Mbok Krani mengepal keras tanah di genggamannya. Ia tak habis fikir bagaimana bisa semua orang-orang itu dengan gelap mata membakar cucunya -baru enam belas tahun umurnya- hanya karena mereka menuduhnya mencuri kelapa? Bagaimana bisa orang-orang itu dipenuhi amarah sedemikian besarnya, sehingga membutakan akal sehat dan hatinya dan dengan biadab menganiaya bahkan membakar cucunya yg belum tentu bersalah? Bagaimana bisa orang-orang itu, yang mengaku dirinya sebagai manusia, dengan sekejap menjelma binatang buas  yang dengan mudahnya merampas kehidupan manusia lainnya? Ia memejamkan mata dan teringat bagaimana ia membisikkan doa pada saat penguburan cucunya sebulan lalu. "Duh Gusti,...betapa negeri ini telah dikuasai amarah yang merajai jiwa-jiwa penduduknya. Membakar hati mereka dengan kebencian dan dendam. Membutakan hati nurani dan kemanusiaan mereka. Hanya kerusakan dan amok aniaya yang sekarang mereka bisa. Duh Gusti, sayangilah mereka...lepaskan hawa panas amarah dari dalam hati anak-anak negeri ini....lenyapkan amarah yang bersembunyi di balik kulit mereka..." ... Bekasi, ketika hawa panas mengambang di udara. Foto dipinjam dari google.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline