. Kamilah yang menemukannya pertama kali. Ketika kami sedang bermain di pinggiran hutan bertelanjang kaki. Bukan embun kataku, karena hari memang sudah jauh dari pagi. Beningnya berkilau-kilau seperti permata. "Itu air mata!...itu air mata!....", teriak kawan-kawan bermainku dengan mata terbelalak. Kupungut dan kuletakkan di telapak tangan, dan mata mereka berbinar-binar memandangnya penuh ketakjuban. Dengan hati-hati kemudian kubungkus dengan daun jati. Kita serahkan ke para ibu saja, kataku menyarankan. Kamipun kembali ke dukuh, melintasi pematang sawah, menyeberangi jembatan irigasi. Memasuki gerbang dukuh semakin banyak yang mengikuti. Anak-anak yang lebih kecil berlarian mengejar langkah kami sambil meloncat-loncat, berusaha melihat lebih jelas bungkusan daun jati yang kupegang meninggi. Mulut mungil mereka terbuka menganga dan mata mereka mencari-cari. Para ibu menunjuk-nunjuk dari balik pagar, menoleh ke tetangga mereka di kanan dan di kiri. Mereka saling berbisik. "Ssstt....Itu air mata!...Itu air mata!...Ssttt..". Bisikan mereka seperti desis ular yang membawa berita meliuk-liuk sepanjang jalan desa. ... Ini adalah air mata ketujuh yang kami temukan di sekitar desa kami. Setelah berpuluh tahun kami hanya mendengarnya sebagai sebuah legenda, yang sering diceritakan oleh para ibu dan nenek kami sebagai pengantar tidur malam hari. Tentang air mata, yang kata mereka adalah tanda kesedihan yang mengalir dari danau hati. Air mata yang bentuknya seperti bulir-bulir padi tapi berkilauan seperti permata. Yang keindahannya seperti bintang pagi. Bagi anak-anak sekecil kami ini, tentu saja semua itu adalah dongeng yang sangat indah. Yang seringkali menjelma mimpi. Tentang air mata yang memiliki sayap-sayap putih, yang mengajak kami bermain dan memeluk kami. Para ibu kamipun, setau kami tak pernah menumpahkan air mata. Sesekali kami melihat mereka terharu. Tapi yang kami dengar hanyalah suara nafas yang tersedu. Tak ada air mata sebagai tanda kesedihan itu. Kami yang masih kecil ini jadi tidak tahu, bagaimana rupa air mata itu? Sepertinya air mata memang hanya dongeng di dukuh kami ini...hingga sekarang ini. ... Hari demi hari yang kemudian air mata semakin banyak ditemukan di desa kami. Kami tak perlu lagi mencari-cari di pinggiran hutan. Karena kini mereka bisa tiba-tiba muncul dekat sekali. Mereka tiba-tiba muncul menggantung di ujung-ujung daun. Tapi bukan embun, karena air mata berkilauan lebih permata. Dan bentuknya lebih lonjong seperti bulir-bulir padi. Mereka muncul menempel di dahan-dahan pepohonan. Mereka menyeruak dari pori-pori tanah di pekarangan dan di jalan desa, dan membuatnya basah meski tak ada hujan yang turun sudah berbulan-bulan. Apapun yang ada di desa kami sekarang menjadi basah jika disentuh. Tiang-tiang rumah kami licin oleh air mata yang tak henti menetes. Dalam seminggu, genangan air mata di jalan desa sudah setinggi mata kaki para ibu. Air mata seakan tak berhenti tercurah dari kedalaman tanah!.... "Air mata siapa itu, Ibu?....", tanyaku keheranan menyaksikan air mata yang tak henti tercurah. "Air mata kami, Nak....para ibu. Yang telah banyak menyembunyikan kesedihan hidup dalam hati kami. Sehingga kalian tak perlu menyaksikan kesedihan. Sehingga kalian dapat bertumbuh dalam kehidupan yang hanya ada bahagia. Yang kami simpan dalam-dalam dan kami larutkan ia dalam diamnya malam-malam, sehingga kalian tak perlu mendengar suara kesedihan. Air mata para ibu, Nak...yang selama ini kami simpan. Yang bahkan bumipun tak dapat lagi menampungnya..." .. Sebuah persembahan untuk para Ibu... Yogyakarta, ketika basah dalam hujan. Awal Maret 2012. Foto dari google.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H