Lihat ke Halaman Asli

Krisis Keuangan adalah Nafasnya....

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"The world of finance hails the invention of the wheel over and over again, often in a slightly more unstable version” John Kenneth Galbraith, A Short History of Financial Euphoria (1994)

Sepertinya memang pasar finansial tidak pernah kapok untuk berulangkali mengalami krisis. Selalu saja pelaku pasar sangat kreatif dalam menemukan berbagai cara untuk mengeksploitasi mekanisme pasar, baik inovasi produk maupun inovasi skema transaksinya. Motivasinya jelas: meraup keuntungan finansial sebesar mungkin (dan selama mungkin) dengan cara menggelembungkan harga aset (bubble). Asetnya bisa berupa apa saja, dan penggelembungan harganya bukan sesuatu yang susah dilakukan. Bahkan oleh pedagang kembang yang masih sederhana di zaman dahulu kala.

[caption id="attachment_33212" align="alignleft" width="300" caption="basic insting"][/caption]

Ketika Nusantara masih berada dalam masa kerajaan-kerajaan klasik Hindu dan Islam, dan perusahaan dagang VOC sedang sangat agresif mencaploki pulau-pulau penghasil rempah-rempah…terjadilah bubble burst pertama di perekonomian barat. Memasuki tahun 1637, sekuntum bunga Tulip di pasar kembang negeri kincir angin Belanda telah meroket mencapai 2500 florins atau setara Rp.12 juta sekuntumnya! Bertahun-tahun sudah para pedagang dan investor telah menjadikan jenis kembang yang satu ini sebagai “aset yang eksotik”, yang kepemilikannya menjanjikan profit berlipat-berlipat (keuntungan sebulannya bisa mencapai 60.000 florins atau setara Rp.620 juta !! hmm….) dan sekaligus menjadi simbol status orang-orang kaya waktu itu. Dan tiba-tiba pada penghujung musim dingin 1637, gelembungnya meletus. Satu orang pembeli tidak bisa membayar kewajibannya, dan sentimen negatif dengan sangat cepat merembet ke seluruh pojok pasar kembang Harleem. Kepanikan terjadi dan setiap orang ingin melepas stok bunga Tulip yang dimilikinya dengan harga murah untuk mengurangi kerugian yang lebih parah. Akibatnya, dalam waktu beberapa hari saja harga tulip collapse menjadi hanya seperseratusnya saja! Banyak investor bangkrut seketika, dan orang kaya tiba-tiba lenyap “kekayaannya”!...

Di zaman modern ini, pasar semakin pintar. Inovasi produk dan skema keuangan semakin canggih, terutama skema sekuritisasi aset, dan semakin ribet untuk dipahami. Kasus sub-prime mortgage adalah salah satu contoh, bagaimana kreatifnya kredit perumahan beresiko tinggi dikemas (packaging)… sehingga bisa tampil lebih jreng sebagai ”a pooling of exotic asset” yang berkualitas “triple A”. Dan laku keras dibeli oleh investor maupun bank. Nilainya semakin tinggi dari tahun ke tahun dan, sebagaimana kasus bunga tulip 300 tahunan lalu, tiba-tiba bubble-nya meletus!...indeks CDO collapse… mengguncang sistem keuangan….dan menjadi trigger bagi krisis global baru-baru ini.

Tetapi di zaman modern ini, pasar juga (ternyata) masih bodoh. Pasar finansial merasa bahwa ia semakin pintar dan semakin “rasional” karena memiliki teknologi dan informasi yang lebih canggih. Tetapi, tetap saja ia selalu terjatuh dalam lubang yang sama. Sudah berapa kali bubble di pasar saham meletus dan kemudian menggelembung lagi dan meletus lagi dan menggelembung lagi? Sangat sering. Sudah berapa kali bubble di pasar properti (rumah, gedung, resorts, pencakar langit seperti di Dubai) meletus –karena sebab apapun- dan menggelembung lagi dan meletus lagi dan menggelembung lagi?

Asetnya bisa apa saja: produk finansial, mortagage, komoditas pertanian, barang tambang,minyak bumi, emas, resort, gedung pencakar langit. Pelakunya bisa siapa saja: mereka yang tergiur oleh janji-janji keuntungan dari “exotic assets” yang sedang trend digandrungi oleh banyak investor lain. Investor konvensional melakukan investasi dengan business agreement berbasis suku bunga. Investor syariah melakukan investasi ke sektor yang sama namun dengan akad berbasis syariah. Tapi ujungnya sama: mereka sama-sama mencemplungkan diri ke dalam gelembung yang sama...dan menghadapi risiko yang sama jika gelembungnya meletus..

Jadi apa donk yang bisa kita lakukan, sehingga stabilitas sistem keuangan kita bisa tetap dijaga dan perekonomian kita terhindar dari krisis serta rakyat negeri ini dijauhkan dari dampak menyengsarakan dari krisis finansial?

Ironisnya adalah bahwa kita perlu menerima fakta, bahwa pasar finansial (yang saat ini ada) memiliki di dalam dirinya naluri untuk menyakiti dirinya sendiri (inherent destabilizing nature). Dengan kata lain, krisis keuangan bukanlah suatu kemungkinan tetapi adalah suatu keniscayaan.

Kombinasi antara kreativitas/inovasi dalam menciptakan berbagai “toxic assets” yang dikemas sebagai “exotic assets”…..dengan behavior pelaku pasar yang gampang sekali tergiur oleh janji berlipatnya keuntungan dan ikut-ikutan memperbesar gelembungnya (herding behavior)….akan selalu menciptakan potensi krisis yang terakumulasi dengan berjalannya waktu. Tinggal menunggu waktunya saja.

Dan kita sepertinya harus pasrah. Tentu saja kita bisa melakukan persiapan-persiapan, mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka memperkuat struktural sistem keuangan untuk menjaga agar lembaga keuangan yang kita miliki tetap survive ketika krisis itu tiba. Tapi semua itu tak akan bisa mencegah terakumulasinya potensi krisis selama kita tidak mampu melakukan transformasi mendasar terhadap “valuation structure” dari pasar finansial itu sendiri: bagaimana mereka seharusnya menilai sesuatu itu "baik" atau "tidak baik". Kita perlu mendidik pasar tentang apa yang baik secara sosial untuk dilakukan dan apa yang tidak baik dan berdampak negatif terhadap keseluruhan populasi masyarakat negeri. Kita perlu menjelaskan kepada pasar betapa irasional-nya “rasionalitas bisnis” mereka selama ini.

Sebuah proses yang panjang memang. Tetapi jika proses itu tidak dilakukan, maka kita akan selalu hidup dari krisis finansial yang satu ke krisis finansial yang lain. Pasrah menjalani siklus yang sama sebagaimana yang telah kita jalani selama beratus tahun ini: fase penggelembungan-fase pecahnya gelembung-fase krisis ekonomi-fase pemulihan…..dan kembali mengulangi fase penggelembungan dengan jenis aset, produk, skema dan pemain yang berbeda…dan akan begitu seterusnya…

Denpasar, 4 Desember 2009 .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline