Lihat ke Halaman Asli

Ruang Bagi Orang Lain (yang Berbeda)

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana mungkin kita tidak mau menerima orang lain, bahkan yang sangat berbeda dari diri kita sekalipun, sementara di dalam diri kita senantiasa ada ruang (espacement) antara aku (me) dengan aku yang lain (an other in me) ?! Kita sejatinya senantiasa memiliki ruang untuk yang lain.

Perhatikan ketika kita berbicara dengan diri sendiri. Kita dapat mendengar diri kita sendiri berbicara, hanya jika terjadi break-point yang membuat saya sebagai pembicara dapat melihat saya yang lain sebagai pendengar...terjadinya difference yang membedakan antara saya dengan diri saya...terjadinya spacing (espacement) yang memungkinkan saya sekaligus mendengar apa yang saya katakan...terjadinya ruang antara di mana the trace (bangkitan memori masa lalu) terbentuk...dan terbentuknya ruang antara dimana terjadi repetisi masa lalu ke masa kini.

Dan Jacques Derrida (1930-2004), seorang filsuf kelahiran Algeria, menunjukkan, bahwa pada setiap pengalaman, spacing (espacement) pasti terjadi. Bahkan pada pengalaman yang hanya melibatkan diri sendiri (auto-affection) semisal bercermin atau berbisik kepada diri sendiri. Senantiasa ada ruang bagi aku (me) untuk melihat aku yang lain di dalam diri ku (an other in me).

Jika dengan diri sendiri saja kita tak pernah bisa menyatu, senantiasa ada ruang terbuka...seyogianya kita bisa membuka ruang itu bagi orang lain di luar diri kita!

“...that the identitiy in the case of cultures, persons, nations, languages is a set different item, it is identity as differance from itself, that is, within an opening within itself, a gap within itself. That's not only a fact, a structure, but it's a duty, it's an ethical and political duty to take into account this impossibility of unifying, of being one with oneself.”

Dan dalam kondisi demikianlah maka kita seyogianya menjadi sadar diri, bahwa kita tak pernah bisa berbicara mengatasnamakan orang lain alih-alih menggurui atau bahkan menguasai orang lain. Yang bisa kita lakukan adalah membuka diri bagi orang lain, membuka ruang antara di dalam diri kita untuk juga menerima identitas orang banyak yang lain di luar kita (plus d’un).

Hanya dengan kesadaran yang demikianlah, yang disertai dengan kerendah hatian, maka manusia dapat menerima manusia lain dan identitas lain hadir dalam dunianya. Untuk mecapai harmoni, seyogianya dihindarkan upaya untuk membentuk keseragaman (unity) mutlak. Justru dengan menghargai perbedaan, keterpisahan (separation, dissociation), kita akan dapat melihat orang lain sebagai orang lain yang sederajat dan kita tidak akan mencoba menggantikan eksistensinya dengan eksistensi dan kehendak kita.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline