Sore itu langit berwarna temaram. Cahaya jingga kecoklatan membaur di langit barat. Awan dan matahari hampir kehilangan daya tariknya, bersiap memberikan giliran kepada sang malam.
Di sebuah gunung asing, tampak seorang pemuda tertunduk lesu. Ia duduk di bawah pohon rindang, sambil memegangi kepalanya.
"Kurang ajar!" katanya.
Ia sudah berjalan kaki selama dua hari dua malam sebelumnya. Ia ingin kembali ke bawah gunung, tempat orang -- orang gunung itu tinggal. Namun tenaganya tinggal sedikit, jadi ia memutuskan beristirahat disana.
"Bisa -- bisanya dia menipuku!" gerutunya.
Lalu ia menggenggam peta air terjun. Ia menjadi semakin geram, lalu meremasnya dan melemparnya ke sembarang arah.
"Peta sialan!"
Lalu ia menggenggam sebuah tombak disebelahnya. Ia ingin membuang tombak itu juga. Tapi ia ingat, tombak itu pernah menyelamatkan nyawanya saat diserang hantu kelaparan.
"Aku kesal dengan cenayang itu. Dia menipuku selama ini. Tapi tombak pemberian darinya ini juga pernah menolongku."
Ia melihat ukiran di gagang tombak itu. Tak ada yang khusus dengannya. Tapi dua kali ia diselamatkan olehnya.