Telah Banyak gerakan-gerakan yang memperjuangkan pendidikan untuk masyarakat dewasa ini, baik itu berupa beasiswa tidak mampu, beasiswa prestasi, bantuan moril dan bantuan-bantuan lainnya yang jumlahnya tidak sedikit demi kepentingan dan kemajuan bangsa Indonesia. Memang, dalam menunjang pendidikan tidaklah terlepas yang namanya bantuan dari berbagai kalangan masyarakat dan instasi agar tercapainya pendidikan yang benar-benar berkualitas.
Dalam konsep semesta yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan mei sebagai bulan Pendidikan dan Kebudayaan, kita kembali diingatkan bahwa pendidikan merupakan suatu media yang dapat menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakterkan Pancasila. Pendidikan dasar yakni Pendidikan Sekolah Dasar (SD) merupakan konsep ideal untuk mengenalkan pada masyarakat generasi penerus bangsa Indonesia, bahwa pancasila merupakan ideologi yang penting dalam berbangsa dan bernegara. Sebab, pada masa anak-anak kita bisa membentuk karakter dan ideologi bangsa untuk 20 tahun yang akan datang, apakah mereka memiliki sifat intoleransi atau toleransi, apakah mereka memiliki SDM yang berkualitas untuk bersaing dengan negara lain atau hanya penonton?. Konsep gerakan semesta pada dasarnya sudah baik pada saat ini, hal ini tampak pada kepedulian pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui beberapa tahap dalam menyerapkan pengetahuan berdasarkan kemampuan siswa tersebut, di mulai pada tahap Sekolah Dasar (SD), tahap Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) hingga Perguruan Tinggi (PT) ke semua itu merupakan konsep semesta yang sempurna bagi pendidikan di Indonesia, namun yang menjadi biang keladi dari rusaknya konsep tersebut adalah tidak meratanya pendidikan di Indonesia, hal ini tentu menyebabkan ketimpangan pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Jika kita melihat beberapa kecamatan di Indonesia, masih banyak sekali sekolah yang jaraknya jauh, terkadang antara dua sampai lima desa hanya memiliki satu sekolah, yang lebih menyedihkan lagi adalah jarak antara desa satu dengan desa yang lain lebih dari lima kilometer, selanjutnya tantangan terberat adalah medan yang sangat sulit seperti menyeberang sungai ataupun melewati tebing. Jika hal ini di biarkan tentu siswa akan merasa engan ke sekolah, akibatnya yang terjadi adalah anak-anak generasi penerus bangsa 20 tahun yang akan datang akan memiliki sifat yang tidak cinta akan tanah airnya dan memiliki pemahaman yang mudah di ‘pengaruhi’.
Oleh sebab itu, secara pribadi saya melihat konsep gerakan semesta saat ini yang cocok adalah gerakan perintis, hal ini di karenakan untuk menjawab kebutuhan dalam mengetaskan kebodohan yang ada di daerah di Indonesia khususnya yang jauh dari jangkauan tangan pemangku kekuasaan.
Gerakan Perintis sebagai Konsep Ideal
Untuk menjawab tantangan tersebut agar seluruh anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas adalah melalui pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan formal dan non-formal dapat dilaksanakan dengan melakukan gerakan printis, gerakan perintis yang saya tawarkan adalah gerakan untuk membangun sekolah-sekolah yang ada di tiap desa atau jarak yang sangat dekat dengan pemukiman masyarakat. Sehingga, setiap anak yang terlahir di Indonesia memiliki kesempatan yang sama memiliki karakter yang ber-pancasila.
Bercermin dari Perjuangan Perintis Membangun Sekolah
Kisah ini saya bagikan sebagai bentuk kepedulian masyarakat dan guru yang mencintai para generasi bangsa untuk membentuk mereka sebagai generasi pancasila.
Jelawai, itu merupakan sebuah pedesaaan yang tidak begitu jauh dari kabupaten Sintang, jika kita menempuh jalan darat maka kita wajib menggunakan motor atau mobil offroad karena medan yang ditempuh sangat buruk sekali tetapi jarak tempuh hanya 55 menit saja, jika kita menggunakan perahu motor maka menempuh jarak antara 1-2 jam saja. Perlu di ketahui juga, desa Jelawai dan Beran secara administrasi memiliki batas desa tetapi jauh mata memandang kedua desa tersebut seakan-akan tidak memiliki batas desa.
Saat itu Jelawai dan Beran tidak memiliki SD, jadi untuk bersekolahan biasanya masyarakat mengantar anaknya menyeberangi sungai Kapuas dan setelah itu berjalan kaki, jadi tidak heran jika pagi hari pemandangan perahu di sungai Kapuas merupakan hal yang biasa, karena orang tua mengantar anaknya menggunakan perahu bahkan siswa SD menggunakan perahu sendiri tanpa di damping orang dewasa. Melihat kondisi tersebut, ada kepedulian dari seorang guru yang menginginkan ada kemudahan dari mereka akan bersekolah, maka dimulailah pendidikan dasar mereka menggunakan bangunan Ibadah, kegiatan ini di dukung oleh masyarakat setempat, sebab masyarakat ingin desa mereka memiliki sekolah sendiri tanpa harus bersusah payah menyeberang sungai Kapuas.
Selama beberapa tahun, pendidikan yang semula berada di tempat Ibadah akhirnya memiliki gedung sendiri, gedung tersebuh hanya 1 bangunan saja, bangunan tersebut merupakan hasil swadaya masyarakat kedua desa bahkan honorium pengajar dari masyarakat desa, bahkan ada yang mengajar seikhlasnya. Setelah sekian lama, dari tahun 2009 – 2013*, akhirnya sekolah yang bermula dari kepedulian dari guru dan masyarakat, berlanjut di tempat ibadah, berlanjut di gedung swadaya masyarakat, kini hasilnya berbuah manis, sekolah tersebut telah menjadi Sekolah Dasar Negeri 16 Jelawai yang telah memiliki 4 lokal baru dan 1 messtempat tinggal guru.
Dari cerita di atas, yang hendak saya katakan adalah konsep pendidikan saat ini sudah lebih dari kata baik, sebab masyarakat Indonesia yang berpendidikan telah memiliki bekal untuk bersaing dengan Negara lain, sudah memiliki keahlian untuk membangun Indonesia, sudah memiliki pribadi nasionalis dan jiwa Pancasila.