Lihat ke Halaman Asli

Sehari di Cibeo

Diperbarui: 3 April 2016   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum lampu jalan padam, perjalanan sudah dimulai dari Menteng menuju Stasiun Tanah Abang. Dari sana perjalanan dilanjutkan menuju Stasiun Duri menggunakan commuter line. Di stasiun itu saya bertemu dengan anggota rombongan lain. Dengan kereta ekonomi, perjalanan dilanjutkan menuju Stasiun Rangkasbitung. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk sampai stasiun yang masih semrawut itu⎯termasuk pintu masuk stasiun yang belum teratur.

[caption caption="Stasiun Rangkasbitung"][/caption]Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan angkutan umum untuk menuju Desa Ciboleger. Selama 1,5 jam perjalanan tersebut, banyak sekali menjumpai keadaan jalan raya yang sangat buruk. Lubang jalan dimana-mana. Suasananya pun gersang dan kondisi udara sangat tidak baik, terutama berseliwerannya truk pengangkut pasir.

Sekitar pukul 12, akhirnya sampai di Desa Ciboleger. Terlihat ada 4 orang laki-laki berpakaian seragam⎯baju berwarna biru tua, membawa tas yang terbuat dari kain, lengkap dengan ikat kepala, namun tanpa alas kaki⎯sudah menunggu. Yang tertua mungkin berumur sekitar 60 tahun. Namanya Mang Aja. Desa tempat dia tinggal adalah tujuan perjalanan kali ini. Di Desa Cibeo, dia dan beberapa orang suku Baduy Dalam lainnya tinggal. Butuh 3 jam berjalan kaki⎯dan hanya bisa dengan berjalan kaki⎯dari Desa Ciboleger untuk sampai ke Desa Cibeo. 4 orang Baduy Dalam tersebut akan mengantar kami ke desa mereka.

[caption caption="Mang Aja"]

[/caption]Mang Aja tampak sudah terbiasa dengan para pendatang. Dia tak sungkan untuk memulai obrolan terlebih dahulu. Kondisi fisiknya tidak menurun walau dimakan usia. Langkahnya masih gesit walau jalannya agak pincang⎯yang menurut salah satu anggota rombongan, pincangnya Mang Aja disebabkan karena kakinya pernah tertimpa pohon.

Medan yang naik turun membuat kaki cepat lelah. Warna baju menjadi semakin gelap karena keringat. Tiap langkah menghasilkan haus. Mungkin keadaan ini hanya untuk “orang kota”. Di depan, 2 anak Baduy Dalam sama sekali tidak terlihat kelelahan⎯bahkan berkeringat. Mereka tampak santai sembari menunggu saya dan anggota rombongan yang sedang beristirahat. Saat perjalanan dilanjutkan, saya mencoba mendekat. Mereka seperti masih kikuk dengan pendatang.

“Ngarana saha?” saya mencoba membuka percakapan.

“Herman.” salah satu anak menjawab dengan nada pelan.

“Ai maneh?” saya bertanya pada anak yang satunya.

Sembari menunduk ia jawab, “Asep.”

Ternyata Herman ini adalah anak ke-2 dari Mang Aja. Sedang Asep adalah temannya yang tinggal di depan rumahnya.

“Meser dimana ieu teh?” tanya saya sembari menunjuk kalung yang dipakai Asep.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline