Jangan malu baca artikel ini, karena saya sendiri tidak malu untuk menulisnya. Isinya memang cukup memalukan bagi kita semua. Sebelum disalahartikan lebih jauh dan menjadi lebih malu, saya langsung saja pada pokok kemaluan saya dengan budaya bangsa ini yang sudah bergeser secara memalukan. Peringatan: yang sudah cukup malu silakan lanjut membaca.
Budaya menunjukkan bangsa, begitu kata orang. Dengan malu perlu saya akui kalau saya lupa siapa orang itu. Tapiiii… saya setuju dengan kata-kata tersebut. Indonesia adalah bangsa yang berbudaya besar dan beragam. Melihat akar budaya Indonesia, yaitu budaya dari banyak suku, tanpa malu bisa saya simpulkan Indonesia adalah bangsa dengan budaya terkaya karena keragamannya tidak dapat ditandingi bangsa lain. Buktinya beberapa warisan budaya kita di klaim oleh bangsa lain tanpa rasa malu.
Dari kebanggaan akan keragaman budaya bangsa ini, ada satu budaya yang sudah mulai pupus oleh perubahan jaman. BUDAYA MALU. Semakin pupus dari waktu ke waktu, hingga saat artikel ini dibuat, tingkat kemaluan bangsa ini semakin rendah. Dengan rasa malu yang tinggi saya akan memaparkan fakta-fakta mulai pupusnya budaya malu bangsa ini.
Menghilangkan rasa malu sudah di didik sejak dini. Tempo doeloe, saat saya SD dan SMP, apabila ada teman yang tidak naik kelas, satu sekolah akan gempar. Siswa yang tidak naik kelas akan sangat malu. Saking malunya, siswa tersebut biasanya tidak mau sekolah lagi sehingga orang tuanya harus memindahkan siswa tersebut ke sekolah yang lain atau bahkan ke kota yang lain. Kalaupun siswa tersebut tetap bersekolah dengan kelas yang sama, siswa tersebut akan menjadi nakal/berandalan. Sifat yang lebih agresif dari siswa tersebut dilakukan untuk menutupi rasa malunya. Kenyataan saat ini sudah berbeda. Siswa tidak lagi malu karena dia tidak naik kelas. Malah oleh orangtua siswa berusaha menghibur dengan uang jajan tambahan 4 kali lipat supaya siswa tersebut bisa cari hiburan di luar dan melupakan kesusahan hatinya. Yang ada tanpa malu siswa tersebut mengajak teman-teman untuk ditraktir makan. Terjadilah perayaan tidak naik kelas yang menyenangkan. Begitulah, sejak dini generasi muda sudah dididik untuk tidak lagi malu. “Memalukan!” kata temannya.
Setelah masuk SMU, dengan kebanggaan mengenakan celana panjang, bukannya makin dewasa makin punya malu malah makin tidak tahu malu. Kenyataan bahwa siswa SMU yang tawuran dimana-mana adalah salah satu indikasinya. Memang tidak semua, karena masih ada siswa SMU yang meraih Juara 1 Olimpiade Fisika Dunia, namun kebanyakan begitu. Bahkan SMU elit di kawasan Blok M, Jakarta, sekalipun tidak bisa menunjukkan sikap yang lebih baik. Mereka tanpa malu tawuran dan mengumbar emosi di jalanan, sehingga membuat geram para preman lokal karena terkesan tidak dianggap. “Memalukan!” kata preman dengan malu.
Memasuki jenjang pendidikan tinggi, rasa malu makin redup. Makin banyak kasus yang lebih hebat yang membuat kata malu kehilangan makna. Dari masalah demonstrasi di jalan hingga jual beli tugas akhir atau karya ilmiah. Banyak mahasiswa yang turut demonstrasi tidak paham benar masalah yang di-demo-kan, yang penting rame. Berapa banyak mahasiswa yang membawa bukti aktual (data, photo, dll) saat melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut hak atau keadilan? Satu? Dua? Tiga? Terus yang sisanya 200 pendemo bawa apa? Spanduk? Pentungan? Batu? Bangga dengan jaket almamater tapi lupa sama tanggungjawabnya sebagai mahasiswa. “Memalukan!” kata almamater yang sudah jadi anggota DPR.
Setelah lulus kuliah dan berkecimpung di dunia politik, rasa malu menjadi kata yang berasosiasi negatif. Haree genee maluu…? Tanpa malu praktik korupsi berlangsung di lembaga-lembaga tinggi bangsa ini. Tanpa malu pula, mengomentari permasalahan bangsa ini dengan mengemukakan paradigma pembenaran yang belepotan. Lebih memalukan lagi setelah ketahuan belangnya tidak mau lengser dan tetap bertengger di posisinya. “PeDe aja lagee!!” katanya. “Malu-maluin” kata saya ke teman saya ini. Sejak saat itu teman ini tidak pernah lagi sms atau telpon, mungkin malu sama saya, walaupun saya tidak yakin dia masih punya rasa malu.
Akhir kata, kemaluan… eh budaya malu bangsa kita sudah semakin rendah dari waktu ke waktu. Bagaimana kita memperbaikinya? Sehingga sayapun tanpa rasa malu menulis artikel yang memalukan ini. Semoga mereka yang membaca tidak merasa malu dan tetap memiliki kemaluan yang tinggi. Yang mau komentar silakan, tapi jangan panjang-panjang, nanti kesannya tidak tahu malu.
Salam saya (malu-malu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H