Lihat ke Halaman Asli

Pergeseran Perilaku Konsumen

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah cukup lama berita-berita di media cetak, dari waktu ke waktu dihiasi laporan ataupun tulisan mengenai pasar produk barang dan jasa yang kembang kempis dilanda krisis ekonomi. Para konglomerat dengan modal yang demikian besar hampir tak tergoyahkan dalam krisis ekonomi ini, mengingat permodalan mereka yang luas sebagai hasil dari diversifikasi usahanya.

Namun tidak demikian dengan usaha kecil dan menengah yang harus merangkak perlahan untuk dapat tetap bertahan. Dan tak sedikit dari mereka yang terpaksa menutup usahanya daripada kerugian bertambah besar. Akan tetapi diantara usaha kecil dan menengah ini, banyak perusahaan yang bisa bertahan dan bahkan meraih sukses dengan menggunakan strategi-strategi yang jitu. Maka timbul pertanyaan, apa strategi atau kiat yang digunakan oleh pihak manajemen dari usaha-usaha yang sukses tersebut disaat ekonomi yang lesu seperti saat ini untuk meraih sukses?

Melalui media cetak maupun media elektronik, seperti program acara SOLUSI dibawah asuhan Dr. Rhenald Kasali, sering disajikan sosok seorang manajer atau pemilik perusahaan yang telah berhasil meningkatkan nilai perusahaannya dengan strategi atau kiat bisnis yang mereka terapkan. Akan tetapi dari ‘mereka’ tidak terdapat gambaran secara jelas atau kuantitatif mengenai strategi yang digunakan. Apabila disimak secara mendalam hanya terdapat gambaran kualitatif tentang strategi yang mereka terapkan.

Tetapi bila kita telaah lebih mendalam komentar para pelaku bisnis ini, mereka menyadari adanya pergeseran pasar dan perilaku pembelian konsumen beberapa tahun terakhir, sehingga mereka dengan tanggap mengadakan perubahan-perubahan mendasar pada setiap aspek perusahaannya agar dapat terus melayani serta mengembangkan segmen pasar mereka. Pasar dan perilaku pembelian konsumen bergeser pada jumlah permintaan akan produk jasa yang terus meningkat dengan berbagai macam ragam jasa yang ditawarkan, serta permintaan terhadap produk barang yang cenderung menurun apabila tidak disertai oleh produk jasa.

Terdapat beberapa alasan yang rasional untuk menjelaskan penyebab terjadinya pergeseran pada perilaku konsumen. Pertama, perkembangan sektor jasa yang terus meningkat. Pada negara-negara berkembang, produk barang masih lebih mendapat perhatian dari produk jasa. Konsumen lebih cenderung memperhatikan produk yang tangible (fisik produk), kegunaan, harga, kemasan,dan sebagainya. Sebaliknya untuk negara-negara maju, pelayanan atau jasa lebih diperhatikan dari produk barang, sisi intangible (pelayanan) menjadi sangat penting.

Perbedaan perhatian konsumen terhadap produk barang dan jasa antara negara berkembang dan negara maju menggambarkan perkembangan pasar produk barang dan jasa. Sektor jasa mengalami perkembangan yang sangat cepat di negara-negara berkembang, contohnya di Amerika Serikat pengalokasian tenaga kerja selama 80 tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 40 persen. Pada sektor manufaktur pengalokasian tenaga kerja dalam jangka waktu yang sama berfluktuasi tapi tidak menunjukkan peningkatan.

Kedua, peningkatan pendapatan konsumen dan perubahan sosial yang mana meningkatkan permintaan terhadap sektor jasa. Menurut hirarki kebutuhan A. Maslow peningkatan pendapatan menggeser perilaku pembelian oleh konsumen dari produk barang ke produk jasa. Peningkatan kemampuan dalam perusahaan dan perubahan teknologi memberikan kontribusi dengan menciptakan sektor jasa yang baru. Salah satu contohnya, peningkatan pendapatan menambah permintaan pada sektor jasa seperti restoran, hotel, pelayanan kesehatan, tempat kebugaran dan tempat hiburan.

Ketiga, yang lebih mendukung kedua alasan diatas adalah ditemukannya suatu kenyataan bahwa dengan pendekatan psikologi dan ekonomi eksperimen, berhasil membuktikan bahwa perilaku individu-individu tidak serasional seperti yang diyakini para ekonom ortodoks. Keputusan pembelian oleh konsumen lebih banyak didasarkan oleh pertimbangan dan dorongan emosi. Dan ini dilakukan secara teratur dan sistematis, yang dapat dijelaskan oleh sebuah hipotesis. Hal ini ditemukan oleh peraih Nobel Ekonomi pada bulan Oktober 2002 lalu yaitu Daniel Kahreman dan Vernon Smith, yang pada intinya berisi mengenai perilaku ketidakrasionalan secara teratur dan sistematis dalam perilaku pembelian seseorang.

Contoh sederhananya, kini semakin banyak individu membeli barang atau jasa bukan berdasarkan prioritas yang lazim diajarkan di ruang-ruang kuliah ekonomi yang berdasarkan urut-urutan kebutuhan primer, sekunder, tersier, dan seterusnya. Melainkan semakin banyak orang yang memutuskan membeli berdasarkan pertimbangan dan dorongan emosi. Dengan temuan ini, sisi pelayanan baik untuk barang maupun jasa itu sendiri menjadi sangat penting, karena hakekat dari jasa itu sendiri yang cenderung irrational.

Sebelum itu Scott Robinette dan Claire Brand dalam bukunya Emotional Marketing, The Hallmark Way of Winning Customers for Life, telah membahas penting posisi emosional dalam keputusan pembelian pada konsumen.

Dari ketiga alasan diatas, sudah selayaknya para pelaku bisnis kita lebih menyadari akan penting pelayanan atau jasa dimata konsumennya dewasa ini. Jasa menjadi pilihan terbaik, karena umumnya perusahaan-perusahaan di Indonesia belum memperhatikan dan mengalokasikan dana yang cukup dalam upaya pengembangan produk mereka. Keberhasilan perusahaan-perusahaan yang tetap dapat bertahan pada masa sulit sekarang ini tidak lepas dari kesadaran mereka akan pentingnya pelayanan atau jasa yang ditawarkan, disamping pelayanan yang mereka berikan akan sulit untuk ditiru oleh para pesaingnya. Dan pada akhirnya membuat mereka melangkah lebih jauh dengan menerapkan Relationship Marketing.

Relationship Marketing adalah filosofi bagaimana kita menjalankan bisnis, orientasi strategis yang berfokus pada bagaimana kita mempertahankan dan meningkatkan hubungan dengan pelanggan yang sudah ada dibanding daripada kita merekrut pelanggan baru. Filosofi ini mengasumsikan bahwa konsumen lebih menyukai hubungan baik dengan satu organisasi daripada secara kontinyu berpindah di antara penyedia jasa dalam upaya mereka mencari nilai. Berdasarkan asumsi ini serta kenyataan bahwa biasanya lebih murah untuk mempertahankan pelanggan yang sudah ada dibanding menarik pelanggan baru, pemasar yang berhasil adalah mereka yang bekerja dengan strategi yang efektif untuk mempertahankan pelanggannya.

Akhir kata, di zaman yang menuntut keberanian ekstra ini, janganlah kita takut mengorbankan laba jangka pendek untuk menyediakan layanan (service) yang diharapkan oleh pelanggan, demi menjalin hubungan baik dengan mereka. Karena konsumen maupun pelanggan dewasa ini, memberikan perhatian yang lebih daripada sebelumnya pada pelayanan karena perilaku pembelian konsumen yang cenderung tidak rasional atau berdasarkan emosional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline