Lihat ke Halaman Asli

Daud Ginting

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Masih Relevankah Pemikiran Bung Karno Saat Ini?

Diperbarui: 22 Februari 2023   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : Kompas.id

Bung Karno dikenal bukan hanya sebagai pejuang dan pendiri bangsa, serta Presiden Pertama Indonesia, tetapi juga sebagai seorang pemikir brilian. Bahkan hasil pemikiran adakalanya melampaui ruang dan waktu, bahkan "out of box" atau diluar kelaziman pemikiran dimasanya.

Marhaenisme salah satu buah pemikiran spektakuler Bung Karno sebagai ideologi perjuangan anti Kapitalisme dan Imperialisme masih layak diperbincangkan hari ini untuk kemudian dipertanyakan relevansinya di tengah sistem liberalisasi ekonomi dewasa ini.

Dari sekian banyak buah pemikiran Bung Karno, Pancasila dan Trisakti juga layak digugat aktualisasinya untuk konteks kekinian.

Liberalisasi ekonomi dunia dewasa ini yang berorientasi murni kepada mekanisme pasar dengan meminimalisir intervensi pemerintah ternyata menimbulkan dilema bagi kebijakan kemandirian ekonomi sebagai keunggulan komperatif bagi suatu negara, khususnya Indonesia, dalam kerangka berkompetisi dalam mekanisme perdagangan internasional.

Pemerintahan Presiden Jokowi saat ini dalam kerangka mewujudkan kemandirian ekonomi nasional mengeluarkan kebijakan hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai lebih komoditi sumber daya alam Indonesia, baik itu Minerba, gas dan komoditi perkebunan sawit, tetapi memperoleh gugatan dari beberapa organisasi internasional yang merupakan kepanjangan tangan negara-negara besar di Eropa dan Amerika.

Contohnya larangan ekspor Nikel oleh Pemerintah Indonesia digugat Uni Eropa ke WTO (World Trade Organization). Gugatan tersebut dimenangkan Uni Eropa.

Ekspor CPO produk turunan kelapa sawit Indonesia juga mengalami penolakan di Uni Eropa dengan tuduhan perkebunan kelapa sawit menimbulkan deforestasi, atau kerusakan hutan dan lingkungan.

Gugatan berbentuk hambatan perdagangan tersebut tidak ubahnya sebagai strategi negara-negara besar di Eropa untuk mencari keuntungan sebesar-sebesarnya dari perdagangan hasil bumi atau komoditas pertanian dan tambang Indonesia lewat gaya baru.

Jika dahulu negara Eropa, terutama Belanda langsung menjajah bumi Indonesia dengan menguasai wilayah dan tanah nusantara lewat imperialisme, kini mereka melakukan penjajahan lewat skema peraturan ala organisasi perdagangan internasional seperti WTO.

Indonesia mengalami kekalahan di WTO karena memang organisasi tersebut tidak ubahnya seperti sebuah perusahaan, dimana kekuasaan mengambil keputusan ditentukan berdasarkan kepemilihan saham. Hak suara ditentukan oleh besarnya jumlah saham suatu negara di WTO.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline