Membina hubungan harmonis dalam sebuah rumah tangga tanpa pernah sama sekali berselisih atau bertengkar dengan istri maupun suami merupakan hal mustahil, langka dan jarang dengar ada cerita pengalaman terkait dengan itu. Konklusinya, perbedaan pendapat yang bermuara kepada pertengkaran merupakan hal yang sering dirasakan pasangan suami istri.
Tetapi pertengkaran yang berujung kepada KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) berupa kekerasan fisik berbentuk kekerasan menimbulkan rasa sakit, menyebabkan jatuh sakit atau luka berat semestinya tidak pernah terjadi dalam sebuah interaksi personal antara suami istri yang masih mengatasnamakan ekspresi cinta dan kasih sayang dalam membina mahligai rumah tangga, atau yang menaungi sebuah rumah tangga.
Kekerasaan fisik berupa tindakan memukul atau menampar, menendang, membenturkan atau melemparkan merupakan tindakan tidak rasional yang dapat menimbulkan pengalaman traumatis bagi seseorang, karena kekerasan fisik yang dilakukan tidak hanya melukai fisik seseorang tetapi turut melukai perasaan atau psikis seseorang, dan menganggu kesehatan mental, serta rentan menimbulkan perasaan benci dan dendam berkepanjangan karena sukar memaafkan tindakan melukai yang dilakukan pasangannya.
Secara psikologi orang yang gampang melakukan kekerasaan fisik juga dianggap sebagai orang yang dihinggapi gejala gangguan mental, tidak stabil mengendalikan emosi, misalnya sebagai pelampiasan masa trauma masa lalu, dirundung bebas masalah atau stres. Orang yang melakukan kekerasan fisik identik dengan orang yang mengalami gangguan mental akan berhadap dengan orang yang disakitinya dengan kondisi luka bathin dan memiliki rasa dendam.
Dendam berkepanjangan dan tidak siap memaafkan tidak ubahnya bagaikan racun (toxic) yang berpotensi mematikan rasa cinta dan kasih sayang dalam hubungan suami istri. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi dalam relasi atau hubungan antara seorang suami dengan istri maka dapat dikatakan bentuk hubungan mereka sudah masuk fase toxic relationship. Jika suami istri sudah terjebak dalam bentuk hubungan toxic relationship maka keduanya akan merasa bingung, telah terjadi rasa saling tidak menghargai atau menghormati, serta minim apresiasi yang menimbulkan rasa hambar dalam hubungan pasangan suami istri dalam sebuah rumah tangga.
Oleh karena itu jangan sekali-sekali melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga karena akan menyisakan pengalaman traumatis yang sangat sulit untuk diperbaiki untuk kembali ke keadaan semula. Berpotensi sebagai kerikil tajam menghambat harmonisasi relasi diantara suami dengan istri yang suatu ketika sangat rentan menimbulkan perpecahan hubungan, bahkan mengarah ke perceraian dan bubarnya sebuah jalinan rumah tangga.
Hubungan yang mengikat suami istri hingga beranjak ke tingkat pembentukan sebuah rumah tangga umumnya berdasarkan adanya ekspresi dan aktualisasi rasa cinta. Dalam kontek hubungan personal berdasarkan atas nama cinta relasi itu harus berlandaskan tiga komponen, yaitu keintiman (intimacy), gairah (passion) dan komitmen (commitment) sebagaimana pernah dikemukakan oleh Robert Strenberg dalam theorinya yang terkenal berlabel "Triangular Theory of Love", dimana diuraikan bahwa sebuah cinta yang sempurna (Consummate Love) hanya dapat terwujud bila ketiga komponen itu terpenuhi secara bersama-sama dalam ruang dan waktu yang sama, sebaliknya salah satu diantaranya diabaikan maka cinta itu akan tidak sempurna.
Membentuk sebuah rumah tangga oleh pasangan suami istri merupakan salah satu bentuk realisasi komitmen atas cinta, aktualisasi perasaan cinta yang tumbuh dari dalam diri masing-masing yang dipersatukan dalam ikatan perkawinan untuk membentuk sebuah rumah tangga. Secara literal, Cinta sering dimaknai sebagai perasaan kasih sayang yang dimiliki seseorang dalam menjalin suatu hubungan yang ditunjukkan lewat tindakan ingin saling menguatkan, melindungi dan memberi sesuatu sesuai dengan keinginan orang yang dicinta, maka dalam jatuh mencintai dibutuhkan kemampuan berkorban dalam membentuk kemampuan menerima keberadaan pihak lain apa adanya walau kadang tidak selaras dengan harapan kita.
Untuk mencapai perwujudan cinta yang lebih sempurna, komitmen itu harus dibarengi dengan adanya unsur keintiman, yaitu berupa kedekatan personal, keterhubungan dan keterkaitan berbentuk saling sayang, saling mempercayai dan saling membutuhkan sehinga merasa ada sesuatu yang hilang jika salah satu diantara pasangan itu tidak berada didekatnya.
Kedekatan itu akan menimbulkan semangat atau passion yang ditunjukkan dengan rasa suka dan tertarik terhadap fisik maupu kepribadian seseorang, serta merasa nyaman jika selalu berada disampingnya. Rasa suka itu ingin dilampiaskan lewat cara hubungan fisik, baik dengan cara memberi ciuman maupun hubungan fisik dalam bentuk lainnya.