Kemenangan pasangan Joko Widodo dalam putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta sampai hari ini masih merupakan wacana yang menarik untuk diperbincankan. Keberhasilan yang diraih pasangan tersebut menjadi bahan analisa bagi banyak kalangan karena menyisakan pertanyaan menggelitik tentang faktor apa sebenarnya yang mempengaruhi dan yang menyebabkan pasangan Jokowi berhasil meraih puncak keunggulan tersebut.
Selain kemenangan pasangan Jokowi ini mengejutkan serta diluar perkiraan sebelumnya, fenomena ini menjadi sebuah bahan permenungan menarik untuk mencari jawaban tentang faktor-faktor apa sebenarnya yang menjadi nilai jual paling menarik mempengaruhi konstituen dan mampu menggerakkan sikap dan tindakannya untuk menentukan pilihan terhadap calon pemimpinnya.
Perolehan suara yang diberikan masyarakat Jakarta memilih pasangan Jokowi pada putaran pertama pemilihan Gubernur yang lalu bukan merupakan suatu kejadian kebetulan belaka, apalagi dianggap sebagai sebuah fenomena yang tidak rasional, tetapi kemenangan pasangan Jokowi tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai lebih yang dimiliki oleh pasangan ini, yaitu sebuah keunggulan komparatif yang dianggap pemilih ada pada diri Joko Widodo (Jokowi) maupun Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Bila dicermati melalui wacana yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, baik itu masyarakat Solo, Jakarta dan Masyarakat Indonesia di daerah lain salah satu variabel yang dianggap sangat menarik dalam pasangan ini adalah karakteristik pigur Joko Widodo yang telah terkenal luas sebagai salah seorang pemimpin yang dianggap memiliki kompetensi, dan merupakan salah satu Walikota memiliki predikat terbaik di Indonesia bahkan dalam tingkat Internasional.
Jokowi menjadi seorang pigur pemimpin yang dianggap mampu memberikan alternatif pilihan serta memiliki rekam jejak yang dianggap mampu mewakili apa yang sebenarnya yang di idam-idamkan khalayak ramai selama ini, sehingga kehadiran Jokowi di panggung politik pemilihan Gubernur Jakarta serta menjadi buah bibir diberbagai perbincangan masyarakat Indonesia bagaikan sebuah oase ditengah apatisme masyarakat yang selama ini telah merasa muak dan bosan melihat tingkah laku para elit politik yang hanya sibuk sendiri dengan politik pencitraan, mementingkan diri sendiri serta kelompoknya dan tidak mampu berempathy terhadap jeritan hati nurani rakyat.
Ruang kosong yang berbentuk kerinduan atau harapan yang tidak mampu di isi oleh pemimpin lainnya ini merupakan peluang yang berusaha dimasuki oleh pasangan Jokowi melalui pendekatan kecerdasan emosional (emotional intelligence / EI), yaitu memancing tumbuhnya perasaan positif dari dalam diri masyarakat Jakarta sebagai konstituennya. Pigur Jokowi bagaikan sebuah resonance - sumber sifat-sifat positif- yang mampu menggerakkan masyarakat untuk mengeluarkan aspirasinya.
Model yang dipergunakan oleh Jokowi ini merupakan sebuah terobosan baru untuk meretas kemapanan cara berpikir para elit politik yang terpelihara dengan baik selama ini, dan dalam hal ini Jokowi dapat dilihat secara kasat mata mampu mempergunakan kecerdasan emosional tersebut untuk menyelami isi perasaan masyarakat yang sesungguhnya (ber-empathy), dan berusaha menempatkan diri serta perasaannya sebagaimana perasaan masyarakat sebenarnya, artinya tidak cukup hanya ber-simpati tetapi harus mampu ber-empathy. Ber-empathy dalam hal ini berarti mampu memahami perasaan masyarakat dan mampu memproyeksikan perasaannya sesuai dengan perasaan masyarakat.
Dalam teori manajemen, kemampuan mempergunakan kecerdasan emosional ini disebut dengan model primal leadership, yaitu sebuah model kepemimpinan yang dibangun berdasarkan pendekatan sistem neurologi yang melalui riset mengenai otak diperoleh pengetahuan baru yang mengatakan bahwa suasana hati dan tindakan seorang pemimpin memiliki dampak signifikan kepada orang-orang yang dipimpinnya, dan penelitian tersebut membuktikan seorang pemimpin yang cerdas secara emosi akan mampu menginspirasi, membangkitkan gairah dan antusiasme serta membuat orang lain termotivasi dan berkomitmen.
Sejarah telah banyak mencatat bahwa pemimpin besar yang mampu menggerakkan orang yang dipimpinnya adalah seorang pemimpin yang mampu menyelami perasaan rakyatnya, mampu membangkitkan semangat dan memberikan inspirasi baik itu melalui pikiran, perkataan dan tindakannya maupun melalui visi dan ide-ide yang dikemukakannya. Sehingga untuk menjadi seorang pemimpin besar tidak cukup dengan hanya mengandalkan kharisma dan pencitraan tetapi harus mampu melibatkan emosi.
Kecerdasan emosi ini bagi seorang pemimpin bersifat primal -yang utama- atau memiliki fungsi sangat penting dalam sebuah kepemimpinan karena melalui kemampuan mempergunakan kecerdasan emosi ini seorang pemimpin akan mampu menggerakkan emosi orang-orang yang dipimpinnya terutama untuk menggerakkan emosi kolektif ke arah yang positif.
Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi mumpuni akan dianggap berhasil apabila mampu mendorong emosi masyarakat ke arah postif, antusiasme, dan berkomitmen, dan seorang pemimpin pecundang umumnya hanya mengandalkan kemampuannya mendorong orang lain ke arah negative thingking, kebencian dan kecemasan.