Hasil real quick count yang di release beberapa lembaga survey tentang hasil pemilihan calon Gubernur DKI Jakarta yang menggambarkan Jokowi dan Ahok menjadi pasangan terunggul bagaikan hujan yang tiba-tiba turun ke muka bumi ditengah-tengah cuaca siang yang tengah terik dan panas. Dan Jokowi juga dianggap sebagai seorang makluk aneh yang seakan berasal dari planet lain.
Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu, partai-nya penguasa dan yang mengusung pasangan Foke terseret ketengah arus suasana kehilangan kecongkakan sebagaimana sebelumnya yang sangat penuh percaya diri memprediksi pemilihan Gubernur DKI Jakarta akan berlangsung hanya satu putaran dengan kemenangan di pihak Poke yang nota bene berarti keunggulan partai demokrat di Pilkada DKI Jakarta.
Kemenangan Jokowi yang ditunjukkan oleh berbagai lembaga survey tersebut akhirnya membuat partai demokrat turut larut dalam rasa kaget dan kehilangan rasa empathy, hal ini terlihat dari sikap beberapa petinggi partai demokrat yang tiba-tiba memberikan tanggapan yang terkesan menunjukkan sikap bathin yang sedang galau.
Anas Urbaningrum yang selama ini dipandang sebagai seorang politisi muda potensial dinilai sebagai seorang politisi santun dan dianggap mampu melakukan komunikasi yang familier, tiba-tiba memproduksi kalimat yang kontraversial dengan menyebut "Jokowi cocoknya sebagai Sejken PBB". Ucapan Anas Urbaningrum ini dianggap keluar dari kebiasaannya yang selama ini dianggap memiliki kemampuan komunikasi politik yang mumpuni, dan merupakan sebuah pernyataan yang diduga memberi gambaran suasana bathin Anas Urbaningrum yang sesungguhnya, yaitu sedang kehilangan rasionalitasnya sebagai seorang pemimpin tertinggi sebuah partai politik terbesar di Negeri ini.
Kemenangan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta memang mampu meretas kemapanan rasionalitas berbagai pihak termasuk menggugat kecanggihan metode survey yang dipergunakan beberapa Lembaga Survey Politik dan Lembaga Konsultan politik yang selama ini dianggap sebagai sebuah dukun politik modern yang dianggap mampu memprediksi calon pemenang dalam setiap pemilihan umum, baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan calon kepala daerah.
Sebelum terlaksananya pemilihan Gubernur DKI Jakarta umumnya lembaga survey mempublikasikan hasil risetnya dengan menempatkan Foke sebagai pemenang atau yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, dengan hasil real quick count yang telah ditunjukkan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tersebut akhirnya menjadikan Lembaga Survey Politik kehilangan marwahnya, dan digugat keberadaannya dengan tuduhan bahwa lembaga survey selama ini cenderung penuh dengan bias kepentingan pihak dan kelompok tertentu. Dengan kata lain Lembaga survey mempublikasikan hasil risetnya berdasarkan order pesanan.
Dua fenomena menarik diatas merupakan sebagian kecil dari reaksi yang timbul dan mengemuka sebagai akibat dari kemenangan Jokowi dan Ahok memperoleh suara secara signifikan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Selain mampu menjungkirbalikkan beberapa arus pemikiran yang sempat mapan selama ini, kemenangan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dalam putaran pertama ini semestinya bukan dipandang hanya sebagai realita baru yang mengagetkan, tetapi selayaknya dijadikan sebagai sebuah momentum untuk melakukan permenungan dan intropeksi diri bagi para elit politik bangsa ini.
Kemampuan Jokowi memperoleh suara yang unggul dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta secara inplisit memuat banyak pesan khusus yang sangat layak dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk melakukan pergeseran atau perubahan terhadap sikap dan tindakan bagi para elit politik dan khususnya bagi kepala daerah yang sedang berkuasa, maupun bagi pihak yang memiliki keinginan untuk maju menjadi calon Gubernur maupun Bupati dan Walikota.
Salah satu pesan menarik yang dapat diperoleh dari proses pemilihan Gubernur DKI yang baru saja berlangsung tersebut adalah secara kasat mata dapat dilihat bahwa telah terjadi perbedaan yang sangat mendasar diantara alam pemikiran para elit politik dibandingkan dengan realita pemikiran masyarakat atau konstituen Jakarta. Dalam kasus ini masyarakat Jakarta dalam melakukan pilihan memberikan gambaran bahwa sesungguhnya ada sesuatu yang dirindukan oleh masyarakat, kerinduan tersebut khususnya keinginan terjadinya sebuah perubahan terhadap kepemimpinan dan kerinduan terdalam terhadap munculnya sosok pemimpin yang dianggap kredibel, mampu memahami perasaan rakyat, dan merindukan pemimpin yang tampil apa adanya serta jauh dari sikap yang larut dalam keasikan pencitraan diri, manis dibibir dan pragmatis.
Kerinduan seperti ini sebenarnya merupakan bentuk pemberontakan dalam diam yang dilakukan oleh masyarakat terhadap tingkah para politisi dewasa ini yang cenderung dianggap hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, dan sering mengabaikan perasaan rakyat karenan menganggap suara rakyat setiap saat akan dapat diperoleh dengan menggelontorkan uang alias politik uang.
Perolehan suara Jokowi yang signifikan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta menjadi salah satu indikator bahwa ternyata tidak selamanya uang sebagai salah satu faktor penentu kemenangan seseorang dalam pemilihan umum, dan adagium umum yang berlaku serta mapan selama ini menganggap bahwa calon incumbent memiliki peluang terbesar untuk memenangkan pemilihan turut terpatahkan dalam fenomena kemenangan Jokowi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta saat ini.