Lihat ke Halaman Asli

Daud Farma

Pribadi

Backpacker to Damietta

Diperbarui: 11 Maret 2022   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Kami enam orang dari Darrasah Kairo, Minggu pagi banget, 06/12/2020. Pukul empat pagi kami OTW dari rumah menuju Ramsis. Tiba di Ramsis langsung nyari kereta yang berangkat sesuai jam yang telah kami check di aplikasi Egypt Train bahwa kereta tercepat pukul 05:15 dan tiba di Damietta 10:15. 

Kami naik kereta mukayaf/ber-AC, kursi empuk dengan tiket seharga 55.5 L.E/Rp.50.000 ribu perorang, menurut kurs hari ini 16/12/2020. Kalau bukan mukayaf dapat harga 10 hingga 15 L.E perkepala. 

Karena perjalanan jauh enam jam lebih, tentunya kami memilih yang kursinya yang nyaman, ruang di dalamnya tidak ada orang yang beridiri alias semua duduk menurut nomor kursi yang tertulis di tiket, tidak ada emak-emak yang sempit-sempitan dan karena iba kita mempersilakannya duduk, tidak ada yang mondar-mandir jualan kaus kaki, sarung tangan, makanan, minuman dan barang lainnya saat berhenti di setiap stasiun, tidak ada yang tidur di kabin seperti biasanya bahkan ada yang tidur di kabin, dan tentu saja tidak ada bau ketek.

Tiba di Damietta (Dimyath) langsung saja nanya homestay pada salah seorang 'ammu/paman nama beliau Sayid. Tidak mesti mesan lewat telepon dari jauh hari, sebab banyak homestay yang kosong. Kami aja baru kenal, setelah ucap salam langsung bertanya: Fii faadhi ya, Ammu?/ada yang kosongkah, 'Ammu?  Kata beliau ada. Dengan harga permalam 200 L.E

 Karena kami tiga hari dan dua malam (masuk senin siang keluar selasa sore), beliau kasih harga 350 L.E/Rp.316.000, kalau dibagi enam orang, perorang cuma 68 L.E lah, murah kali pun itu. Kami sepakat kemudian kami diajak ke homestay. Jumpa di homstay pertama kami kurang minat, sebab hanya dua kamar dan empat ranjang sedangkan kami enam orang, kami pun diajak ke homestay berikutnya, pokoknya sampai kami deal. 

Akhirnya kami oke di homestay kedua yang lebih besar. Agak di tepi laut, satu menit lah jalan kaki ke laut.  Tiga kamar dan enam ranjang. Sebenarnya kalau ranjangnya dirapatkan bisa untuk tidur empat orang dalam satu kamar.  

Aku berikan foto copy pasporku pada anak buah 'ammu Sayid, namanya Mahmud, penampilannya sederhana, ramah, sudah sering berinteraksi dengan orang indonesia dan mahasiswa asing lainnya dan langsung kami bayar lunas. Mahmud sudah menikah, anaknya dua perempuan, masih kecil, belum masuk sekolah dan ternyata dia tinggal bersebelahan samping kiri homestay kami. Jadi kalau ada apa-apa tinggal teriak: Mahmud! Aku juga berkali-kali nyapa dia dari lantai atas/lantai tiga sewaktu ia slowly di depan terasnya di lantai dasar.

Spesifikasi homstay: Suasana sekitarnya adem ayem, tak terdengar jelas suara kendaraan kalau tak duduk di teras, ke jalan raya 5 menit-an dengan jalan kaki, ke pasar tempat belanja nambah satu menit, seberang jalan raya dari homestay. 

Perumahannya paling tinggi 3 lantai, sejajar, rapi dan bersih di sekitarannya.  Isi rumah 3 kamar dengan enam ranjang lengkap dengan kasur, seprai, lemari kaca besar yang bisa nampung tiga orang, kalau mau masuk lemari loh ya. Kamar mandi dilengkapi dengan syakhanah (pemanas air), westafel, wc duduk, mesin cuci, shower dan cermin. Di sholah/ruang tamu satu kulkas besar. Dapurnya bisa muat tiga orang, tabung gas, kompor gas yang masih tampak baru, bersih dan ada rak piring. Kemudian ada teras alias khambih orang alas Cane bilang-yang bisa nongkrong 10 orang sekaligus. Istilah yang cocok untuk homestay-nya dalah mafrusyah alias complete.

Suasana di Damietta cocok sekali bagi yang baru menikah dan berbulan madu atau bagi pejabat yang ingin melepas penat, atau bagi mahasiswa S2 yang ingin fokus menyelesaikan tesis. Tak ada Tuktuk/bemo, tak ada yang teriak bikiak/botot, tak ada yang mukul-mukul ambuba/tabung gas, dan tidak ada cekcok mulut seperti yang sering terjadi di gang rumah saya di Darrasah belakang Barakat Store itu-yang membuat saya sering membuka jendela dan melihat ke bawah karena penasaran ada apa gerangan?

Ketika kutanya harga perbulan sewanya ke 'ammu Sayid, beliau jawab: 2500 L.E /Rp. 2,257.000 (dua juta dua ratusan perbulan). Ya menurutku wajar sih, sebab benar-benar mewah, apik, unik, menarik dan energik gitu melihat homestay-nya. 

Kalau dibanding dengan homestay di Alexanderia sana, aku ngidolain homestay yang di Damietta. Tapi kalau soal view and sunset, ya aku menangi yang Alexanderia-aku kagum sekali dengan bangunan bak pagar berbaris rapi nan menawan tampak bak setengah bundar dari awan  di tepi lautnya yang memanjang dari ujung ke ujung itu! Namun sunset di Damietta juga tak kalah jauh indah loh, seperti di vidio yang aku edit itulah, maaf masih amatir. Ngedit dengan Hp android dan KineMaster.

Setelah saya kalkulasikan, perorang kami cuma habis patungan/ 255 L.E/Rp.230.000 (sudah termasuk: tiket kereta dan tramco pulang-pergi, homestay tiga hari dua malam dan bekal).

Jadi ya, tidak perlu menabung pun sebenarnya sudah bisa jalan-jalan ke Damietta dengan menyisihkan 255. L.E ketika dapat kiriman di awal bulan (btw ini harga bakcpacker loh ya, kalau rombongan dan tour guide dan nginap juga, ya tentulah beda harga, nggak bisa disamakan!), bisa jadi dua kali lipat.

Kelebihan rihlah ke Damietta adalah ratusan ribu kerang yang mendarat ke tepi pantai, bak pasir banyaknya! Adanya cuma musim dingin. Dan niat kami datang jauh-jauh dari Kairo juga ingin ngutip kerang sih, namun pada saat kami ke tepi laut yang satu menitan dari homestay kami, ternyata kerangnya masih belum naik ke daratan, mungkin nunggu musim dingin ini lebih dingin lagi, maybe pas 10 derajat celcius nanti. 

Namun, meskipun tak ada kerang, aku pribadi cukup puas dengan keadaan yang terjadi, mungkin karena aku lebih mengutamakan keindahan sekitar: tadabbur alam, menenangkan pikiran: pantai, sunset, bahrain yaltaqiyan-pertemuan antara sungai Nile dan air laut, tempat rekreasi macam eropa yang aku lihat di Youtube, tempat perbelanjaan pakaian yang bangunannya belum pernah  aku lihat di Kairo, bangunan di seberang air sungai Nile yang luasnya macam yang aku lihat di musalsal/sinetron Turky, dan suasana pasar ikan dan sayurannya yang sama harganya di pasar Darrasah Kairo, wah!

Karena saya dan adek-adek saya yang ganteng-ganteng ingin sekali makan sup kerang, kami beli rubu'/seperempat kilo dengan harga 40. L.E, Sekilo 80 L.E. Kerangnya tentu beda dengan yang di tepi pantai yang orang Mesir tidakk mau ambil. 

Karena kami 6 orang, piket masaknya kami bagi tiga orang sekali masak (tiga  orang masak untuk makan malam dan tiga orang untuk sarapan). Soal rasa jangan remeh, ya, sudah selama ini dan sejauh ini di Kairo dengan menjalani tradisi piket masak hidup berumah tangga yang harmonis, ah, kuyakin Anda suka masakan kami, yakin sekali! Kalau nggak percaya bisa lihat di story atau dirasakan lain kali.

Keluar rumah mulai siang dan pulang malam. Padahal di pantai cuma foto-foto (dikira perempuan aja apa yang hobi foto?), kami juga kalau foto nggak cukup sekali cekrek, satu pose mesti minimal tiga kali, kalau kurang dari tiga nggak afdhal.

Aku tuh ya, penyuka sunset kali lah (nggak ada yang tanya!), betah lama-lama nunggu mentari terbenam.

Pesan, Mahmud kepadaku: Ya, Daud, elmarrah gayah lazim tigi ma'a madem/Daud, lain kali kau harus datang dengan istrimu.

Qultu/kubilang: insyaAllah. Entahlah siapa dia, yang sampai sekarang masih rahasia-Nya.

Kali ini bercerita tanpa ejaan yang disempurnakan-eyd atau pedoman umum ejaan Bahasa Indonesia-PUEBI).

Tulisan ini saya tulis saat dalam kereta api menunuju pulang dari Damietta ke Kairo Darrasa Gamalia, 08/12/2020.

-Daud Farma


dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline