Lihat ke Halaman Asli

Apakah "English Day" itu Suatu Kesempatan Belajar?

Diperbarui: 6 Februari 2019   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: english-cz

Sejak pemberlakukan Peraturan Gubernur (Pergub) Nusa Tenggara Timur (NTT) Nomor 56 Tahun 2018, yang mengatur untuk berbahasa Inggris (English Day) pada setiap hari Rabu, memperoleh beragam tanggapan dari masyarakat NTT. Termasuk orang NTT yang berdomisili di luar NTT.

Pada Rabu, 30 Januari 2019 yang merupakan hari pertama pemberlakukan English Day itu, banyak aksi berbahasa Inggris yang terpantau di berbagai media sosial (medsos), cenderung dibuat menjadi bahan lucu-lucuan. Hingga Rabu, 6 Pebruari 2019, hal yang sama masih berlangsung. 

Sementara itu, ada pula tanggapan dan ulasan yang menunjukan bahwa kebijakan tentang English Day merupakan suatu kebijakan yang perlu dikaji lebih lanjut. Bahkan ada pihak yang terang-terangan menolak English Day dengan berbagai alasan.

Selain berbagai respon yang sudah tersosialisasi di medsos sebagaimana tersebut di atas, juga ada respon warga NTT dalam berbagai kesempatan dan tempat ngobrol yang tidak tersiar di medsos. Respon yang belum tersosialisasi itu, pada intinya juga terbagi atas dua poros, yakni setuju dan tidak setuju dengan English Day, juga dengan berbagai alasan.

Adapun alasan mereka yang kurang atau tidak setuju dengan English Day, antara lain:

Pertama, kebijakan itu belum tersosialisasi secara baik, sehingga banyak di antara mereka yang terkejut dan belum siap. Lalu ketika ditanya apa masalahnya jika belum siap? Jawabnya sedikit kaget saja. Rupanya kelompok ini sedang memperlihatkan sikap terkejutnya atas kebijakan baru itu. Soal kesiapan untuk berbahasa Inggris itu akan berproses seiring dengan berjalannya waktu.

Kedua, peraturan gubernur itu hanya untuk mengikat aparatur pemerintah daerah, bukan untuk mengikat warga secara keseluruhan. Katanya untuk mengikat warga secara keseluruhan, maka mesti menggunakan Peraturan Daerah (Perda). Ketika kelompok ini ditanya, apakah anda tidak setuju English Day atau perangkat aturannya? Jawabnya, English Day sebagai suatu momentum belajar Bahasa Inggris praktis, itu tidak masalah.

Ketiga, ada kelompok warga menguatirkan hilangnya peran Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan dan lenyapnya bahasa daerah dari budaya NTT. Ruang perdebatanpun muncul di sana. Inti dari perdebatan itu adalah di satu pihak ada warga yang berpendapat bahwa English Day dapat menghilangkan peran Bahasa Indonesia serta bisa melenyapkan bahasa daerah, seperti tersebut di atas. Pada pihak lain ada pula warga yang berpendapat bahwa tidak mungkin English Day yang hanya berlangsung beberapa jam pada setiap hari Rabu dalam seminggu serta merta dapat menghilangkan peran Bahasa Indonesia atau melenyapkan bahasa daerah di NTT. Menurut mereka pemikiran itu merupakan suatu hal yang cenderung mengada-ada. Bahkan mereka menganggap bahwa penolakan kebijakan English Day itu terkesan seperti sikap "anti perubahan".

Pendapat di atas ada benarnya juga, sebab tidak mungkin berbahasa Inggris dalam beberapa jam pada setiap hari Rabu, akan menghilangkan peran Bahasa Indonesia dan melenyapkan bahasa daerah. Buktinya ada banyak orang yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negeri, jika kembali ke daerahnya di NTT, ia tetap lancar berbahasa daerah, ia tak mungkin lupa bahasa daerahnya kecuali "sengaja lupa" (sebagai perilaku sadar). Demikian pula dengan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan tak akan hilang, sebab semua urusan resmi kenegaraan tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Tidak ditemukan pasal atau ayat dalam Pergub NTT No 56 Tahun 2018, yang melarang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam urusan kenegaraan pada hari Rabu. Mudah-mudahan kekuatiran sekelompok orang seperti tersebut di atas tidak berlebihan atau tidak tendensius.

Lantas bagaimana argumen dari mereka yang setuju dengan English Day?

Menurut mereka, mari kita lihat tujuan dan manfaat dari kebijakan English Day itu sebagai langkah kongkrit untuk mempersiapkan warga NTT dalam program pariwisata. Menurut mereka, jika sebagian warga NTT bisa Bahasa Inggris praktis, akan lebih mudah bagi wisatawan manca negara (wisman) dapat berkomunikasi langsung dengan warga NTT. Dengan begitu, akan banyak jualan produk lokal bisa laku, tanpa harus menunggu jasa penerjemah untuk kebutuhan jual produk barang dan jasa wisata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline