Lihat ke Halaman Asli

Datuk Marwan Al Jafari

Ketua PW MABMI Kepulauan Bangka Belitung

Pj Gubernur Pemantik Diskusi

Diperbarui: 21 April 2023   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Dt. Marwan AlJa'fari, DPMP.

Ketua PW MABMI KBB

Rabu lalu (19/4), saya diminta mengisi tausiah di kediaman Datuk Seri Ramli Sutanegara dalam acara berbuka bersama dan acara "nujuh hari"  putra beliau almarhum Hendra Astra Jaya.  Materi yang saya sampaikan, dalam tausiah tersebut membahas adat istiadat Kepulauan Bangka Belitung, baik ketika  belum jadi provinsi maupun setelah menjadi provinsi.

Kita semua tahu bahwa semboyan adat istiadat Pulau Bangka sebelum terbentuknya provinsi, terkenal dengan nama Sepintu Sedulang. Oleh masyarakat, dilaksanakan dengan menganggung dulang  yang berisi makanan ke masjid atau ke tempat pertemuan.

Dari adat budaya Sepintu Sedulang  ini  tergambar nilai- nilai prilaku masyarakat yang gemar bergotong royong. Selain itu  terdapat juga  makna ajaran dan filosofi di dalam dulang, yang mengajarkan kehidupan masyarakatnya dalam beragama dan bernegara.

Dalam hidup beragama  diajarkan bahwa satu dulang menandakan aqidah tauhid. Kita bertuhan kepada tuhan yang satu, kemudian di dalam dulang ada lima piring  simbol dari rukun Islam yang lima, yang disebut dengan syariat,  lalu tudung sajinya yang berwarna warni menandakan simbol masyarakat Bangka yang hidup beraneka ragam dan berbeda- beda baik suku, agama, ras dan adat budaya, namun bisa hidup rukun dan damai di tengah- tengah perbedaan itu, dan ini disebut dengan muamalat.

Itulah tiga inti ajaran Islam yang ada di dalam dulang.

Begitu juga dalam kehidupan bernegara. Semboyan negara kita adalah Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda- beda tapi tetap satu jua, ini diajarkan pula melalui dulang.  Tudung saji yang berwarna warni itu adalah bhinneka (bermacam ragam), dan satu dulangnya adalah tunggal ika. Kemudian di dalam dulangnya ada lima piring, itu adalah simbol dari lima sila yang ada dalam Pancasila.

Dengan banyaknya makna serta filosofi dalam adat Sepintu Sedulang ini, maka sepatutnya kita sebagai warga KBB melestarikan adat istiadat Sepintu Sedulang. Sebab, kalau tidak dilestarikan, maka akan terus terjadi pergeseran pelaksanaannya di lapangan, di mana sekarang ini banyak masyarakat menganggung dengan menggunakan rantang dan kotak. 

Alasannya karena ingin ringkas. Bayangkan kalau sudah berubah menjadi sepintu serantang atau sepintu sekotak maka makna dan filosofi Sepintu Sedulang akan berobah bahkan akan hilang.
Apalagi sekarang ini sudah ada aliran- aliran yang masuk ke daerah kita dengan membawa paham menolak adat budaya yang tidak pernah ada di zaman Nabi  Muhammad. 

Menurut mereka semua itu bid'ah. Paham - paham seperti itu tentunya harus kita lawan, karena akan merusak kelestarian adat budaya Melayu yang ada di KBB. Kita masyarakat KBB juga punya dasar dalam melaksanakan dan melestarikan adat istiadat ini. Selama tidak bertentangan dengan al Quran dan hadis, maka hukumnya boleh. Inilah yg dimaksud dengan adat bersandikan sara' dan sara' bersandikan kitabullah.

Singkat cerita kemudian setelah Bangka, Belitung, dan pulau-pulau di sekitarnya menjadi provinsi,  semboyan daerah kita adalah Serumpun Sebalai. Ini melengkapi semboyan Sepintu Sedulang. Maknanya setiap entitas, setiap rumpun dan kelompok, berkumpul di balai simbol dari tempat pertemuan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline