Tujuan pendidikan nasional di Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 2003, pasal 33, adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, memiliki moral dan akhlak mulia, sehat jasmani maupun rohani, memiliki ilmu pengetahuan, mandiri, kreatif, bertanggungjawab, demokratis dan cinta tanah air (Kemendikbud 2003).
Peserta didik, tidak hanya diharapkan memiliki kecerdasan secara akademik dan terampil dalam penguasaan teknologi, namun perlu diarahkan juga untuk memiliki kecerdasan spiritual, sikap, raga, rasa dan karsa (Wahyu 2011; Dasrimin, Imron, and Supriyanto 2019). Para siswa pun diarahkan agar selain mengembangkan potensi akademik, tetapi mereka pun dapat memiliki integrasi iman, budaya, dan kehidupan (Galioto and Marini 2021).
Agar tujuan pendidikan ini dapat tercapai, maka satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah adanya peran seorang pemimpin yang baik dan berkualitas (Everard, Morris, and Wilson 2004; Bush 2005; Bush and Middlewood 2005). Seorang pemimpin perlu memiliki kombinasi sejumlah ketrampilan (Yukl 2013). Pemimpin yang baik harus memiliki orientasi tentang masa depan dan membawa setiap anggota yang dipimpinnya mencapai tujuan bersama sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi (McKelvey and Pfeffer 1984). Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu menjadi agen perubahan bagi lembaga yang dipimpinnya (Hidayati 2015).
Kepemimpinan efektif sangat bergantung pada beberapa hal, antara lain ragam budaya, bentuk dan konteks organisasi, keunikan dinamis individu organisasi, dan isu-isu yang sedang dan akan terjadi sesuai dengan perubahan zaman (Mulford 2014; Lim 2017; Maisyaroh et al. 2020).
Salah satu model kepemimpinan yang dinilai efektif pada abad ke-21 ini adalah kepemimpinan spiritual (Rahmawaty 2016; Abdurrahman and Mulyasari 2011). Teori kepemimpinan ini muncul karena dinilai bahwa beberapa model kepemimpinan sebelumnya lebih fokus pada aspek fisik, mental atau emosional interaksi manusia dalam organisasi dan mengabaikan komponen spiritual atau religi (Fry et al. 2011).
Kepemimpinan spiritual atau religius terdiri dari nilai, sikap, moral dan perilaku yang diperlukan untuk secara intrinsik memotivasi diri sendiri dan orang lain sehingga mereka memiliki perasaan bertahan hidup secara spiritual melalui panggilan dan keanggotaan dalam organisasi (Abdurrahman and Mulyasari 2011). Nilai-nilai religius yang secara intrinsik memotivasi seseorang antara lain melalui rasa cinta terhadap Tuhan yang diungkapkan dalam pelayanan kepada sesama.
Kepemimpinan spiritual biasanya diterapkan di sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan atau yang sekolah-sekolah yang berada di bawah pimpinan para tokoh agama. Di sekolah yang berbasis keagamaan, kepala sekolah dituntut memiliki keterampilan yang baik dalam mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam pembelajaran (Juharyanto et al. 2018; Fry et al. 2011).
Kepemimpinan spiritual dapat diupayakan melalui integrasi antara dimensi keagamaan dalam kurikulum, komunitas, dan pelayanan pastoral (Sultmann and Brown 2016). Harus disadari bahwa pemahaman kaum muda zaman ini tentang suatu keyakinan tidak lagi didasarkan pada spiritualitas yang sudah mapan (Dagach 2021). Maka kepala sekolah harus mampu merenovasi program pendidikan, dengan memasukan komponen inovatif ke dalam pembelajaran (Aristimuo 2020).
Beberapa tahun terakhir, penulis mengadakan penelitian di tiga sekolah yang ada di Kota Malang-Jawa Timur. Secara singkat, hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kepemimpinan spiritual, dapat dilakukan melalui tiga hal yakni pengembangan visi pembelajaran, pengembangan budaya pembelajaran dan pengembangan lingkungan pembelajaran.
Pengembangan visi pembelajaran (shared vision) berbasis spiritual
Hasil penelitian menunjukan bahwa, masing-masing kepala sekolah dari ketiga situs tersebut pertama-tama merumuskan visi, misi dan tujuan, berdasarkan pedoman pendidikan nasional. Visi, misi dan tujuan tersebut kemudian disosialisasikan kepada para guru, orang tua dan para siswa, maupun masyarakat. Sebagai bentuk sosialisasi, maka rumusan visi, misi dan tujuan, tidak hanya ditemukan dalam dokumen-dokumen resmi di sekolah, tetapi juga dipublikasikan di website sekolah (media online), sehingga dapat dibaca dan diakses oleh publik.