Lihat ke Halaman Asli

Hendrikus Dasrimin

TERVERIFIKASI

Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Menjadi Saudara yang Bukan Sedarah, dalam Komunitas Asrama

Diperbarui: 30 Juli 2023   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi suasana di asrama (Sumber: Kompas.com)

 

Saudara Sebagai Orang Asing

Tahun pelajaran 2023/2024, baru saja dimulai. Ada yang menjadi murid baru, dan tentunya juga teman baru. Ada pula yang tinggal di asrama, baik itu sebagai angora baru, maupun sebagai anggota lama tetapi memiliki teman baru. 

Ketika pertama kali datang ke asrama, dalam arti tertentu kita bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya asing bagi kita dan kita pun disambut juga oleh orang yang sebelumnya asing. Kenyataan ini sangat mendasar, dan inilah sebetulnya arti hospitalitas, yakni menerima "orang asing" dan disambut sebagai "orang asing".

Ketika pertama kali bergabung dalam komunitas asrama tertentu, kita tidak pernah tahu siapa yang hidup bersama atau satu komunitas dengan kita. Kita belajar untuk menerima apapun, juga ketika orang itu berbeda dan tidak cocok dengan kita. Di situlah, dengan hidup persaudaraan orang mau mengalahkan egoismenya. Egoisme, kata filsuf Emanuel Levinas adalah "kenyamanan dengan apa yang sama dan tidak mengakui apa yang berbeda".

Saudaraku Sebagai Api yang Memurnikan

Persaudaraan itu dalam banyak pengalaman tentu kita rasakan sebagai berkah besar dan pengalaman yang sangat menggembirakan. Namun tidak bisa dipungkiri pada titik-titik tertentu hidup persaudaraan itu bisa kita rasakan sangat sulit, seolah menjadi beban dan menjengkelkan. Persaudaraan itu indah, namun nampaknya seperti emas. Tidak ada keindahan tanpa proses pemurnian.

Filsuf eksistensialisme Perancis, Jean Paul Sartre pernah mengatakan bahwa "orang lain adalah neraka". Itu bisa benar. Namun kata-kata ini bisa dibaca secara positif seperti dalam pemahaman St. Stanislaus Kostka, bahwa orang lain atau para saudara kita adalah "api yang memurnikan" hidup kita masing-masing, membantu kita untuk bertumbuh sehingga bisa menampilkan kecemerlangan kita.

Kita masing-masing bisa memiliki pengalaman akan hal ini, walaupun dalam bentuk yang berbeda-beda. Dalam hidup bersama, apalagi dalam hidup asrama, kadang ada orang yang menjengkelkan dan bisa dianggap sebagai musuh. Kita perlu berjuang untuk mengalahkan rasa itu. Orang bijak menasehati kita, ada dua cara untuk mengalahkan perasaannya itu, yakni pertama mendoakan orang yang dibenci atau yang menjengkelkan dan yang kedua adalah dengan mencoba melihat hal positif yang barangkali tersembunyi dalam diri mereka (St. Theresia Lisieux).

Saudara Sebagai Partner yang Sederajat

Kerendahan hati adalah pelajaran pertama hidup bersama atau hidup komunitas. St. Teresia Avila mengatakan "kesombongan itu seperti ulat yang menggerogoti tanaman. Kalau dibiarkan akan merusaki tanaman dan membuatnya tidak bisa menghasilkan buah" (Hidup 31:21). Maka dari itu, ketika mendirikan komunitas-komunitas baru dan menyebut beberapa hal penting, St. Teresia Avila antara lain menekankan tentang kerendahan hati. Ia antara lain meminta agar para saudaranya menanggalkan gelar kebangsawanan pada nama mereka. Demikian diharapkan setiap anggota komunitas dapat hidup dalam semangat pertobatan dan matiraga (Constitusione, 28).

Kerendahan hati adalah hal yang tidak mudah. Terlebih kesombongan itu bisa saja sangat tersamar. Karena itu, tentang kerendahan hati tradisi monastik menyebutnya sebagai labor humilitatis, atau "jerih payah kerendahan hati", jalan susah payah yang harus dilalui orang untuk mencapai kerendahan hati. Enzo Bianchi mengatakan "kerendahan hati hanya mudah dalam literatur, kita baru belajar kerendahan hati ketika punya pengalaman direndahkan.

Satu keuntungan hidup bersama adalah bisa menjadi tempat untuk belajar menjadi redah hati. Dalam hidup bersama kita dituntut untuk tidak mengandalkan kedudukan, usia atau patokan lainnya yang dijadikan alasan, mengharapkan orang harus bisa mengalah atau mengaku salah. Tujuan hidup komunitas bukan untuk menang. Tujuan hidup komunitas adalah untuk tumbuh bersama dan saling berbagi. Maka dalam arti tertentu kita harus bersyukur menghadapi persoalan dalam hidup persaudaraan, karana di situ kita bisa belajar rendah hati. Bukan kehinaan yang dipandang sebagai kepribadian seorang manusia, melainkan kerendahan hati yang berkobarlah yang disanjung sebagai keluhuran hidup.

Saudara Sebagai Separuh Kedua dari Jiwa 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline