Lihat ke Halaman Asli

Hendrikus Dasrimin

TERVERIFIKASI

Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Mewujudkan Kampus Merdeka, yang Merdeka dari Korupsi

Diperbarui: 25 Agustus 2022   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rektor Unila yang ditangkap KPK (Foto: Regional Kompas.com)

Perguruan tingggi hendaknya menjadi garda terdepan dalam membangun dan menumbuhkan budaya antikorupsi. Namun dalam kenyataannya, sebagian besar koruptor yang ditangkap oleh KPK adalah tamatan dari perguruan tinggi. Bukan hanya itu, saat ini ternyata sudah ada bukti bahwa dalam kampus sendiri sudah ada praktek korupsi yang dilakukan oleh para pejabat perguruan tinggi. Salah satu di antaranya yang merupakan kasus terbaru yakni tertangkapnya Rektor Universitas Lampung dan sejumlah pejabat kampus lainnya oleh KPK, terkait dugaan adanya praktek suap pada penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.

Tertangkapnya pejabat kampus pada Sabtu 20 Agustus 2022, dengan barang bukti uang sekitar Rp. 4,4 miliar ini, sungguh memprihatinkan. Sangat disayangkan bahwa kasus seperti ini harus terjadi di lembaga yang seharusnya mengajarkan tentang kebaikan moran dan kejujuran bagi generasi penerus bangsa ini. Adanya Kampus Merdeka bukan berarti agar para pejabatnya bebas bertindak apa saja termasuk menghilangkan dasar legitimasi sebagai benteng yang kuat untuk mempertahankan moral bangsa ini. Program Kampus Merdeka bukan dimaksudkan agar para pejabat kampus bebas menentukan pungutan, dan merdeka menggunakan uang haram.

Jalur penerimaan mahasiswa baru di Indonesia terdiri dari tiga jenis, yakni Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan Seleksi Jalur Mandiri. Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNPTN) merupakan jalur masuk perguruan tinggi secara gratis dengan sistem seleksi berdasarkan prestasi akademik yang diperoleh calon mahasiswa di jenjang pendidikan sebelumnya. Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) adalah jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru yang diadakan serentak secara nasional oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), melalui Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Sedangkan seleksi Jalur Mandiri adalah jalur seksi penjaringan mahasiswa baru yang dilakukan secara mandiri oleh masing-masing Perguruan Tinggi.

Setiap Perguruan Tinggi memiliki otonomi sendiri dalam menentukan besarnya pungutan biaya kuliah dengan Jalur Mandiri. Saya mengambil contoh pengalaman saya sendiri yang saat ini sebagai mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Kota Malang, dengan jalur mandiri. Pada saat pendaftaran kami dipungut biaya sebesar Rp. 500.000. Pada setiap semesternya, Program Magister diwajibkan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar Rp. 8.000.000, sedangkan UKT Program Doktoral, sebesar Rp. 10.000.000. Pada tahun 2022 ini, UKT mengalami kenaikan, Program Magister Rp. 10.000.000/ semester, sedangkan Program Doktoral menjadi Rp. 13.000.000/ semester. Selain daripada itu, tidak ada pungutan lain.

Karena sistem jalur mendiri tergantung dari kebijakan masing-masing kampus maka besarnya pungutan pun pasti akan berbeda antara kampus yang satu dengan kampus yang lainnya. Namun sangat mencengangkan jika terungkap oleh KPK bahwa Karomani, sebagai Rektot Universitas Lampung sampai mematok Rp. 100-300 juta per mahasiswa jika ingin diluluskan untuk diterima masuk sebagai mahasiswa Unila.

Jalur SNPTN dan SBMPTN jauh lebih transparan karena diadakan oleh LTMPT secara nasional, sedangkan Jalur Mandiri, terkesan lebih tertutup karena dilakukan secara mandiri pada lingkup perguruan tinggi masing-masing. Dalam ruang tertutup inilah, muncul peluang penyalagunaan keuangan dengan mengatas-namakan "kebijakan" kampus demi kepentingan pribadi atau golongan. Jalur Mandiri menjadi lahan subur dan ladang bisnis dalam dunia pendidikan.

Oleh karena itu, ketika ditetapkannya Karomani sebagai tersangka atas kasus korupsi jalur mandiri, banyak yang mengusulkan agar seleksi jalur mandiri ditutup saja. Salah satu di antaranya yang mengusulkan agar Jalur Mandiri ditutup adalah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), seperti dilansir dalam Kompas.com (21/8/22). Namun apakah penutupan jalur mandiri merupakan satu-satunya solusi untuk mengatasi kasus seperti ini?

Bagi saya penutupan jalur mandiri bukanlah satu-satunya jalan untuk memecahkan masalah ini. Masih ada jalur alternatif lain yakni dengan memperbaiki sistem manajemen keuangan kampus yang transparan dan akuntabel. Perlu ada audit dan secara transparan dan dibuka untuk publik mengenai pemasukan dan penggunaan uang dari jalur mandiri. Selain itu, perlu dibuat aturan atau mekanisme secara nasional, sebagaimana halnya dengan SNPTN dan SBMPTN. Misalnya secara nasional ditetapkan batas maksimal uang pendaftaran dan UKT untuk semua perguruan tinggi negeri. Adanya suatu sistem bersama yang bersifat transparan dan terukur akan menghindari korupsi jalur mandiri di kalangan para pejabat kampus.

Mari wujudkan Kampus Merdeka, semoga Kampus Merdeka dari Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline