Lihat ke Halaman Asli

Hendrikus Dasrimin

TERVERIFIKASI

Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Subjektivisme Kemerdekaan

Diperbarui: 20 Agustus 2022   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Dokpri)

Terbang-menerbang tidak selamanya menunjukkan perilaku kebebasan liar tanpa kekang. Setiap subjek selalu punya jalur dan tata krama tersendiri untuk menjadi bermakna di atas medan pertarungan. Secara kasat mata, barangkali risalah kebebasan itu sendiri selalu diplotkan dengan peristiwa ugal-ugalan, kacau-balau, hiruk-pikuk, dan varian situasi 'chaos' yang digelar di bawah bentangan langit maha luas ini.

Bertahan hidup dengan metode subjektivisme, kemerdekaan boleh jadi dianggap miring. Bisa juga dianggap sikap keparat yang tidak mau patuh pada sistem dan seabrek aturan legal-formal. 

Bekerja malam hari, tidur pagi hari. Bekerja di jalanan, dan bukan di kantoran. Bekerja dengan pakaian lusuh atau compang-camping, dan bukan dengan seragam dinas penuh wangi parfum dan dandanan mewah meriah. Bekerja di bawah terik mentari dengan berpayung langit, bukan di kantor pemerintahan yang full AC hingga cepat membuat lelap, tetapi belalak melihat rupiah. Menyanyi lagu koplo di istana yang formal dan bukan nyanyian setuju di gedung DPR.

Itulah realitas hidup. Kalau Anda berjalan sendirian di mana saja dan kapan saja, lakon-lakon semacam itu selalu saja terjumpai dengan beragam perkaranya. Tapi, ya sudahlah, Chairil Anwar bilang bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Dalam narasi kitab suci sempat tertandaskan bahwa burung di udara meski tidak menabur, tidak menuai, tetapi tetap dipelihara oleh Maha Pencipta. Banyak orang memilih jadi seperti burung. Tapi, tak jarang pula yang menggerutu dan mudah dilucuti oleh pemahaman kemerdekaan yang salah kaprah.

Merayakan Kemerdekaan

Setiap gerak maju selalu dimulai dari langkah awal. Berlari, selesat apa pun, selalu menyembunyikan muslihat, antara kecepatan mata dan nalar mengambil kesimpulan tentang gerak laju dan kealpaan menyatakan sesuatu yang tersembunyi, sebuah titik gerak awal. Jika kita sempat berpikir dan berani mengungkapkannya secara jujur, mengapa kesimpulan yang terburu-buru selalu menjadi pilihan? Mata dapat menipu, tetapi berpikir sebagai sebuah proses adalah pisau bedah kebajikan yang mengulas segala yang melandasi peristiwa.

Kita hendaknya bahagia melihat seseorang menikmati alam dan kebebasan. Kita berbicara, dengan melemparkan kata, tetapi juga lupa betapa sering kita mengabaikan anak zaman yang mesti dengan bebas, merayakan hidup. Jika hidup adalah pencarian akan pencapaian, mengapa kita mesti dengan gegabah melupakan generasi yang berhak mendapatkan kemerdekaan?

Kemerdekaan patut dirayakan, terutama bagi mereka yang menyimpan potensi untuk membangun dan memperbaiki yang rubuh, kalah, remuk, bahkan petaka yang kita siram di area perjalanan hidup kita. Mereka akan berbicara, meski dengan mata binar keluguan, dan gelak tawa keculunan, namun setiap langkah menyimpan sejuta harap yang niscaya.

Satu hal penting yang tidak boleh luput dari parhatian setiap anak zaman yakni agar tidak hanya berhenti pada kemerdekaan "dari", melainkan juga kemerdekaan "untuk". Jangan hanya berjung untuk merdeka dari sesuatu yang dianggap mengganggu ruang kebebasanmu. Pertanyakanlah untuk apa kemerdekaan itu. 

Paulus dari Turki pernah memberikan nasihat supaya manusia hidup sebagai orang merdeka, tetapi bukan seperti orang yang menyalahgunakan kemerdekaanya itu untuk menyelubungi kejahatan. Mari merayakan kemerdekaan dengan mengabdi satu sama lain dalam cinta kasih, karena untuk itulah kita dipanggil pada kemerdekaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline