Lihat ke Halaman Asli

Hendrikus Dasrimin

TERVERIFIKASI

Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Jejak Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Pendidikan Indonesia yang Holistik

Diperbarui: 25 Agustus 2022   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminari Menengah St. Yohanes Brekhmans Mataloko-Flores (Sumber Foto: Seminari Mataloko)

Setiap langkah hidup menusia tentu meninggalkan jejak hitam maupun putih, kebajikan maupun kesalahan, yang positif maupun negatif. Begitu pun halnya dengan peninggalan kolonialisme di bumi Indonesia. Ada jejak negatif yang tentunya tidak perlu kita kembangkan, namun ada jejak positif dari kolonial yang justru menjadi pengalaman mahal yang bisa memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa ini jika tidak dikembangkan dengan bijak.

Demikianlah kurang lebih saya menyimpulkan refleksi singkat dari Kompasianer Cristopher Reinhart, seorang peneliti sejarah yang kali ini berkolaborasi dengan Kompasiana, untuk mengajak kompasianer merefleksikan jejak kolonial dalam rangka HUT 77 RI.

Dalam pengantar Topik Pilihan dari Kompasiana, diangkat sejumlah peninggalan kolonial antara lain jalur kereta api, produk hukum, pendidikan, atau arsitektur dan lain-lain.

Saya kemudian tertarik dengan salah satu pertanyaan reflektif sebagai sub-tema dari topik pilihan ini, yakni tentang pola pendidikan misionaris era kolonial di Flores pada studi di seminari.

Maka dalam artikel ini saya akan mengulas secara singkat tentang pendidikan seminari di Flores pada era kolonial dan nilai positif yang bisa dikembangkan untuk kemajuan pendidikan Indonesia.

Seminari adalah sekolah calon pastor (imam, romo). Seminari terdiri dari dua tingkatan yakni seminari menengah dan seminari tinggi. Seminari menengah adalah jenjang pendidikan sederajat dengan SMP-SMA. Sedangkan untuk tingkat perguruan tinggi disebut seminari tinggi (S1-S2). Seseorang bisa ditahbiskan (dilantik) menjadi pastor atau imam Katolik jika ia sudah menyelesaikan pendidikan seminati tinggi (S2).

Seorang seminaris (panggilan untuk siswa yang mengenyam pendidikan di seminari), tidak semuanya ditahbiskan menjadi pastor. Ada yang keluar dari seminari dan menjadi awam (umat), baik atas dasar kehendak pribadi maupun karena tidak memenuhi tuntutan aspek pembinaan di seminari.

Namun nilai-nilai pendidikan yang diterapkan di seminari mampu melahirkan alumni-alumni yang kemudian berprestasi di berbagai bidang kehidupan.

Sebut saja, seorang tokoh yang tidak asing lagi bagi kita, Jakob Oetama. Pendiri Surat Kabar Kompas ini merupakan alumni dari Seminari Menengah Mertoyudan-Magelang.

Almamater Jakob Oetama ini merupakan seminari pertama yang didirikan oleh para misionaris. Dari Magelang, seminari berikutnya dibangun di Flores, dan kini pendirian seminari sudah menyebar di seluruh nusantara. Saat ini di pulau Flores terdapat 5 seminari menengah dan satu seminari tinggi. Beberapa tokoh nasional yang merupakan alumni dari seminari di Flores antara lain Johnny Plate yang saat ini menjadi Menkominfo, Boni Hargens seorang pengamat politik; Don Bosco Selamun, sebagai pemimpin redaksi Metro TV, Andreas Hugo Pareira sebagai politisi PDI Perjuangan, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh daerah maupun nasional yang lahir dari pendidikan seminari di Flores, selain puluhan uskup dan ribuan pastor yang kini berkarya di seluruh dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline