Manusia begitu saja terlahir tanpa pernah ditanya terlebih dahulu mau atau tidak ia hidup di dunia. Manusia juga tidak tahu apa jadinya dia dan akan ke mana mengarah dalam hidup. Ia pun tidak ditanya mau jadi orang mana, beragama apa, suku dan ras apa.
Manusia hanya bercita-cita atau berangan, tapi yang menentukan keberadaannya adalah Sang Ada. Kondisi inilah yang disebut oleh Heidegger sebagai keterlemparan atau faktizitaet.
Manusia pada hakikatnya adalah ada bersama dengan yang lain. Kesadaran akan kelemahan kodrati bahwa kita tidak bisa hidup sendiri (no man is an island), merupakan panggilan untuk hidup bersama dengan orang lain di dalam masyarakat.
Dalam hidup bersama manusia selalu mendambahkan ketenteraman, kesejahteraan keselarasan dan kedamaian. Di tengah kebersamaan tersebut, misi serta opsi menjadi mungkin.
Namun karena kerapuhannya, manusia sering melupakan jati dirinya sebagai makluk sosial dan menggangap orang lain sebagai musuh dan saingan dalam hidupnya.
Tak dapat disangkal bahwa kehidupan bersama dalam dunia kita dewasa ini, mengalami kemunduran dalam kebersamaan hidup.
Secara kasat mata (baca: struktural) kita melihat bahwa memang kita hidup bersama di dunia dan di negara ini, namun apabila diamati secara lebih mendalam, kita dapat menemukan bahwa masih ada banyak di antar kita yang tidak menjiwai nilai kebersamaan itu.
Pengalaman kebersamaan adalah pengalaman eksistensial manusia. Pengalaman yang dirajut oleh benang-benang kasih dan disimpul oleh tali-tali persaudaraan akhirnya memberikan nilai ultim yakni nilai persatuan dengan sesama sebagai wujud yang nampak dalam relasi timbal balik antara engkau dan aku.
Perlu selalu disadari bahwa manusia dalam keterbentukannya hadir sebagai makluk yang ada bersama dengan yang lain.
Merebaknya realitas konfliktual yang masih terus terjadi di dunia dewasa ini merupakan bukti dari lemahnya intensitas kesadaran manusia yang terjerumus dalam individualisme.