Lihat ke Halaman Asli

Hendrikus Dasrimin

TERVERIFIKASI

Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Strategi Lembaga Pendidikan Tinggi dalam Menghadapi Era Disruptif dan Pandemi Covid-19

Diperbarui: 2 September 2022   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dokpri

Saat ini kita sudah memasuki Abad 21 yang disebut juga dengan era globalisasi. Pada saat yang sama kita masuk dalam era baru yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0 dan memasuki Society 5.0. 

Sejalan dengan kebutuhan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, tujuan pendidikan nasional mengalami pergeseran yakni tidak hanya untuk mencerdaskan bangsa dan memerdekakan manusia namun mengarah kepada penguasaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) yang bersifat pragmatis dan materialis (Dirjen Dikti Kemendikbud, 2020b). 

Rancang bangun kurikulum dituntut mampu menjawab tantangan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan literasi baru, yaitu: literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia yang berakhlak mulia (Suwandi, 2020). 

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menghadapi era disruptif teknoologi ini. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah merekonstruksi kurikulum. Kurikulum harus responsif terhadap era industri 4.0, karena itu desain ulang kurikulum harus disesuaikan dengan pendekatan berbasis digital (Widodo, 2021). 

Pada level perguruan tinggi, upaya pemerintah tersebut adalah dengan mencetuskan program Kampus Merdeka (Dirjen Dikti Kemendikbud, 2020). Melalui program ini, diharapkan dapat meningkatkan link and match antara lulusan pendidikan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri. 

Dengan kata lain, tujuan dari program ini adalah untuk dapat meningkatkan kompetensi lulusan, baik itu soft skills maupun hard skills, sehingga lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman, dan dapat menyiapkan kader pemimpin masa depan bangsa yang unggul, bermoral dan beretika (Widiyono et al., 2021). 

Program Kampus Merdeka, memiliki beberapa kebijakan di antaranya adalah perubahan definisi SKS. Secara sekilas perubahan definisi SKS ini kelihatan sederhana, namun memiliki dampak yang besar. 

Secara praktis, definisi SKS yang baru dipahami sebagai kegiatan belajar tidak hanya dilakukan di dalam kelas, melainkan pada umumnya berada di luar kelas seperti magang, proyek di desa, wirausaha, riset, studi independen, dan mengajar di daerah terpencil. Tentu, program ini sangat bagus, namun sangat disayangkan karena baru saja program ini dicetuskan, dunia kita mengalami pandemi covid-19. 

Di satu pihak pandemi covid-19 dapat menyebabkan banyak kendala di semua bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Namun di lain pihak, menjadi salah satu peluang bagi pendidikan tinggi untuk segera melakukan transformasi teknologi. Masa pandemic menjadi puncak penggunaan teknologi dalam pendidikan, bersamaan dengan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. 

Dengan adanya pandemic covid-19, dalam waktu cepat, kampus dipaksa untuk melaksanakan pembelajaran daring yakni dengan memanfaatkan teknologi digital (Indrawati, 2020). Kendalanya adalah bagaimana implementasi dari perubahan definisi SKS yang pada umumnya berupa kegiatan yang harus dilakukan di lapangan.

Secara konseptual kebijakan Kampus Merdeka, khususnya perubahan definisi SKS dinilai sangat relevan dengan dunia kerja (link and match), sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi dan pendidikan karakter, pembelajaran sangat kontekstual dengan era revolusi industri 4.0 dan society 5.0. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline