Lihat ke Halaman Asli

Hendrikus Dasrimin

TERVERIFIKASI

Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Meredefenisi Simbol Belis: Upaya Menyikapi Pergeseran Paradigma Tentang Belis

Diperbarui: 2 September 2022   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: DOkumen Pribadi

Eksistensi belis dalam kehidupan masyarakat pada zaman sekarang ini, menimbulkan dua pendapat yang berbeda. Di satu pihak ada seruan agar belis tetap dipertahankan sebagai sebuah budaya yang memiliki makna simbolis yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Di pihak lain, ada pendapat yang tidak menyetujui adanya praktek pembelisan dan perlu dibuat pembaharuan karena dipandang tidak relevan lagi pada zaman sekarang ini.

Pandangan yang Kontra Terhadap Budaya Belis

Pada hakikatnya belis mempunyai nilai yang sangat tinggi. Belis dilihat sebagai peneguhan ikatan keluarga atau suku, serta sebagai penyatu warga di dalam dan di antara suku. Selain itu ia merupakan tanda penghargaan, serta timbang rasa yang berimbang antara pemberi dan penerima. Namun dalam kenyataannya, dewasa ini banyak orang telah mengkianati dan memperkosa arti belis itu yang sesungguhnya. 

Banyak yang telah memanfaatkan belis sebagai panggung pertunjukan gengsi dan medan percaturan prestise. Sikap yang salah terhadap belis turut mempengaruhi cara pandang kita yang salah pula terhadap belis. Perspektif kita yang salah terhadap belis, membuat kita melihatnya sebagai salah satu unsur budaya yang negatif dan untuk itu perlu dimusnahkan.

Kematian simbol ini nyata dalam cara pandang dan cara berpikir masyarakat. Belis telah dijadikan sebagai pasar gengsi dan medan percaturan prestise. Semakin tinggi jenjang pendidikan dan derajat sosial seorang anak gadis maka semakin tinggi besaran yang akan ditentukan. Seringkali pihak pria harus berhutang untuk memenuhi besarnya nilai belis ini. 

Belis telah direduksi menjadi ajang yang menunjukkan keberadaan seseorang. Makin banyak belis yang dibawa, reputasi seseorang semakin meningkat. Orang merasa kurang bermartabat bila belis untuk anak atau keluarganya tidak sesuai dengan yang diharapkan atau yang ditentukan pihak keluarga. Yang menjadi patokan bukan martabat perempuan, melainkan harga diri keluarga, khususnya para lelaki. 

Hal ini menujukkan bahwa materi dan kebendaan diutamakan, sedangkan nilai kemanusiaan itu sendiri dinomorduakan. Sebagai akibat dari kematian simbol belis ini, maka banyak pihak melihat belis sebagai beban hidup yang perlu diberantas.

Beban belis dalam kenyataannya dapat membawa permasalahan lanjutan. Persoalan-persoalan yang kemunculannya sering berhubungan erat dengan beban belis misalnya banyak perempuan tidak bisa kawin atau kawin usia tua, kumpul kebo dan kekerasan dalam rumah tangga. Budaya belis menjadi salah satu kontruksi sosial budaya yang turut menjadi kondisi bagi persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam masyarakat. Belis dipandang sebagai penghambat pembangunan. 

Tuntutan belis yang begitu tinggi telah mengakibatkan banyak orang tidak lagi mengikuti tahap-tahap pembelis yang berlaku. Sebagai konsekuensi lanjut dari fenomena ini, maka ada begitu banyak pasangan yang kawin pintas.

Budaya belis juga dipandang sebagai salah satu faktor pemicu timbulnya berbagai kekerasan dalam rumah tangga. Dari sejumlah data-data yang dikumpulkan Divisi Perempuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan-Flores (TRUK-F), disimpulkan bahwa belis menjadi salah satu sumber kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (Samuel Octora, 2010). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline