Lihat ke Halaman Asli

Hendrikus Dasrimin

TERVERIFIKASI

Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Belis Maumere-Sikka-NTT (Bagian III: Bentuk-Bentuk dan Makna Simbolis Belis)

Diperbarui: 2 September 2022   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belis pada masyarakat Sikka terdiri dari beberapa bentuk atau jenis barang. Pada awalnya (masa lampau) hingga sekitar tahun lima puluh-an, belis pada masyarakat Sikka hanya memiliki satu bentuk yang dikenal dengan istilah bahar atau emas. 

Setiap pemuda yang ingin mengambil seorang gadis akan dikenakan bahar walu, delapan emas. Emas dijadikan sebagai belis karena pada waktu itu jumlah emas cukup banyak beredar di tengah masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, karena jumlah emas semakin sulit ditemukan dan beredar di tengah masyarakat, maka bahar diganti dengan bentuk yang lain. 

Bentuk-bentuk belis itu antara lain adalah gading (sebagai belis utama) dan beberapa belis tambahan yakni babi, kambing, kuda, hasil pertanian, sirih pinang, uang. Bentuk-bentuk belis ini juga memiliki simbolnya masing-masing.

1. Gading (Bala)

Gading atau taring gajah merupakan salah satu jenis belis yang paling utama atau paling pokok dalam adat pembelisan Sikka. Dari kenyataan yang dapat kita amati sekarang ini bahwa di Maumere (bahkan seluruh daerah di Nusa Tenggara Timur) tidak ditemukan adanya gajah sebagai satu-satunya binatang yang memproduksi gading. 

Namun sesuatu yang sulit ditemukan inilah justru dijadikan sebagai tuntutan utama dalam pembelisan. Dari sini akan muncul pertanyaan: dari mana asal gading itu dan mengapa gading dipakai sebagai bahan belis sekalipun barang tersebut sangat sulit ditemukan?

Gading adalah suatu harta benda yang sumbernya tidak terdapat di daerah ini. Menurut perkiraan, pasokan gading gajah yang melimpah, berasal dari kepergian seorang raja Sikka pada awal 1600-an ke Malakka yang berada di bawah kekuasaan Portugal. 

Beliau memeluk agama Katolik dan ketika pulang dari Malakka mendapat cendera mata satu kapal penuh gading yang kemudian dibagikan kepada bangsawan dan tuan tanah di Sikka dan sekitarnya. 

Sejak saat itu, tradisi menyimpan gading sebagai pusaka dilestarikan warga. Saat ini, pasokan gading gajah diperoleh dari Sabah, Malaysia. Gading itu berasal dari gajah yang mati secara alamiah. Awalnya, gading-gading gajah dibawa oleh orang-orang Portugis dari Malakka. 

Penduduk yang kemudian mengenalnya sebagai barang berharga lalu menjadikannya sebagai mas kawin. Gading tersebut kemudian beralih dari tangan ke tangan hingga saat ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline