Hari ini, Rabu, 1 Mei 2019, Mahfud MD di twitternya menulis mengenai pernyataan istilah "garis keras" yang arti garis keras di dalam literatur, ujar Mahfud MD adalah " is an adjective describing a stance on an issue that is inflexible and not subject to compromise. Arti ini tak bisa dicabut karena sudah jadi term dalam ilmu politik secara internasional. Tetapi bagi yang salah memahami penggunaan istilah ini, saya minta maaf."
Hari Selasa malam, 30 April 2019, pukul 20.00 WIB, "TVOne" juga memaparkan hal yang sama dengan nara sumber, Prof. Mahfud MD, Fadli Zon, Rizal Ramli dan Maruarar Sirait. Dalam acara ini Fadli Zon yang Wakil Ketua DPR RI, juga berasal dari Minangkabau, sangat gencar mengkritisi Mahfud MD. Maklumlah selain Aceh, kemenangan Capres no 02, Prabowo-Sandi sangat mencolok di Sumatera Barat.
Memang benar di Sumatera Barat pernah terjadi pergolakan. Nama Ahmad Husein tidak dapat dilepaskan dari sebuah gerakan yang pernah menggegerkan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu dengan berdirinya "pemerintahan tandingan," Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang, Sumatera Barat. Dulu namanya masih Sumatera Tengah.
Ahmad Husein, salah seorang putera Sumatera Barat yang berani mengultimatum pemerintah pusat agar mau memenuhi beberapa tuntutan daerah dan peristiwa ini merupakan peristiwa paling serius dan terbesar, baik dalam skala waktunya, maupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Tanggal 28 November 1998, ketika salah seorang putera terbaik bangsa ini (Ahmad Husin) kembali kehadirat Illahi Rabbi, dan dimakamkan di makam pahlawan Kuranji, Padang, sejarah PRRI kembali diingat. Pertanyaannya, sejarah itu menyimpulkan, ketika seorang Ahmad Husein dimakamkan di Makam Pahlawan, ia bukanlah pemberontak.
Hal ini sesuai dengan pernyataannya kepada saya di akhir-akhir hayatnya, yang pada saat itu saya berkesempatan berkunjung ke rumahnya di Jakarta. Ia mengatakan:"Saya bukan pemberontak. Saya hanya mengingatkan Presiden Soekarno tidak terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)."
Ahmad Husein masih sempat menyaksikan pembubarakan PKI sehari setelah penyerahan Supersemar 11 Maret 1966. Ada kelegaan yang sangat besar di wajahnya, ketika pembicaraan, meski terbata-bata, bahwa PKI telah dibubarkan. Ada kepuasan batin yang ia rasakan saat menyongsong kematiannya.
Mengapa tidak, karena perang antara daerah (Padang) dan Pusat, ketika ultimatum Ahmad Husein ditolak pemerintah Soekarno, perang berlangsung sejak bulan Maret 1958 hingga Agustus 1961. Cukup lama hingga akhirnya Presiden Soekarno memberi maaf (amnesti) dan Ahmad Husein dimakamkan di Makam Pahlwan Kuranji, Padang.
Ahmad Hussein adalah seorang militer. Sudah tentu beragama Islam, sebagaimana Islam moderat di Indonesia. Bukan Islam "garis keras." Selain ia berjuang bukan di ranah agama. Tetapi lebih didasarkan adanya ketidakadilan.
Ahmad Hussein Menduduki posisi penting dalam militer. Ketika masa proklamasi hingga tahun 1950 menjabat Komando Resimen TNI Harimau Kuranji di Padang Area. Tahun 1956-1958, Panglima Komando Daerah Militer/Penguasa Perang Daerah Sumatera Tengah merangkap Ketua Dewan Banteng, sebelum berstatus sebagai tahanan politik pada tahun 1961-1965.
Sejarah PRRI ini berawal dari pernyataan "Piagam Perjuangan," sebuah ultimatum Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan yang dibacakan Kolonel Simbolon pada tanggal 10 Februari 1958. Piagam tersebut berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno agar "bersedia kembali kepada kedudukannya yang konstitusional dan menghapuskan segala tindakan yang melanggar Undang-Undang Dasar serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan."