Lihat ke Halaman Asli

Dasman Djamaluddin

TERVERIFIKASI

Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan

Setelah Peristiwa di New Zealand, Patutkah Islam Selalu Dicurigai?

Diperbarui: 20 Maret 2019   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Jacinda Ardern, Perdana Menteri New Zealand, sedang terlihat merangkul keluarga di antara 50 Muslim yang menjadi korban pembunuhan di dua masjid di negara Pasifik itu. Meski pembunuhnya telah ditangkap, dunia mengecam aksi brutal pembunuhnya. Termasuk Indonesia.

Setelah terjadi pembunuhan itu banyak di antara penduduk New Zealand mengunjungi masjid tempat korban berjatuhan tersebut. Selain mengirim bunga tanda ikut berduka cita, ada juga di antara warga negara New Zealand ingin tahu, bagaimana caranya orang Islam menunaikan ibadahnya. Bahkan di video kita saksikan, banyak warga New Zealand datang ke masjid,  hanya untuk melihat bagaimana sebetulnya umat Islam melaksanakan ibadah shalatnya.

Sejauh ini nama Islam selalu dikaitkan dengan pengikut dari Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Memang mengerikan, jika kita mengkaikan dengan sikap brutal gerilyawan ISIS yang brutal, membunuh dan memperkosa. Itu sebenarnya bukan ajaran Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Islam itu adalah agama perdamaian.

Boleh saja seseorang terpengaruh dengan ISIS, boleh saja terpengaruh dengan Islam ekstrim, tetapi itu bukanlah ajaran Islam sebenarnya. Benar jika dalam Islam moderat lahir berbagai  aliran. Itu benar juga, tetapi muncul setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Aliran dalam Islam itu ada yang dinamakan, Kodariyah, Murjiah, Muktazilah, Khawarij, Syiah, dan Ahlusunnah. Dari sekian banyak aliran yang ada, kini tinggal Sunni (Ahlusunnah) dan Syiah yang tetap bertahan sedangkan lainnya secara nama sudah hilang, meskipun pengaruhnya masih ada.

Kiai Said Siradj pernah meyakini, keberadaan dua aliran yang sudah terbukti mampu bertahan ini akan mampu bertahan jauh di masa depan. Pengikut aliran Syiah memiliki kelebihan berupa militansi yang bagus. Mili tansi yang intelek, bukan militansi yang ngawur. Dalam kasus Palestina, di wilayah tersebut tidak ada orang Syiah, tetapi Iran lah yang paling menganggap musuh dengan Israel, Hizbullah yang paling menganggap musuh Israel.

Mengenai kepintaran orang Syiah, Kiai Said menjelaskan, hal ini bisa dilihat dari latar belakang peradaban Persia yang jauh lebih maju dari Arab. Begitube masuk Islam, tinggal ganti agama, ganti kitab suci Al-Qur'an, tetapi nilai-nilai peradabannya sudah mapan.

"Ahli hadits tidak ada orang Arab, tetapi orang Persia semua. Bukhari, Muslim, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Dawud, Daruqutni, Daylimi," imbuhnya.

Ia menambahkan yang menciptakan ilmu nahwu, Imam Sibawaih merupakan orang Persia, yang menciptakan ilmu balaghoh atau kesusastraan bahasa Arab juga orang Persia, yaitu Amir bin Ubaid. Yang pertamakali menjadi mufassir besar, yaitu orang Tabaristan, yaitu Ibnu Ja'far Attabari yang membuat tafsir 10 jilid. Imam Ghozali merupakan Persia. Abu Hanifah dan Imam Hambali orang Persia. Sementara Imam Syafii dan Imam Malik orang Arab.

Mengenai hubungan yang harmonis antara Sunni dan Syiah, Kiai Said yang menyelesaikan doktor di Universitas Ummul Qura Makkah ini menjelaskan, Mesir bisa menjadi contoh. Mesir dulu ada kelompok Syiah, Sunni, dan Kristen Ortodok. Mereka bisa hidup damai.

"Ngak pernah ada konflik mazhab. 10 raja dari Syiah di Mesir dari dinasti Fatimiyah. Yang membangun kota Kairo orang Syiah, yang membangun masjid Al Azhar juga orang Syiah," tandasnya.

Sayangnya, Mesir kini sudah mulai ada yang terseret pada fanatisme kelompok seperti mulai adanya ISIS dan Al-Qaedah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline