Foto ini menggambarkan situasi ketika saya ke Baghdad Irak pada bulan Desember 1992. Waktu itu, Irak belum hancur lebur diserang pasukan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Saya di Baghdad masih sempat bertemu saudaranya Presiden Irak Saddam Hussein. Ia adalah Menteri Perindustrian dan Enerji Irak, Amir al-Saadi.
Pada bulan September 2014, saya kembali ke Baghdad. Jika pada tahun 1992, saya ditugaskan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka Burhanudin Mohamad Diah (B.M Diah), tetapi tahun 2014, saya diundang khusud Duta Besar Indonesia untuk Irak, Letjen TNI Marinir Safzen Noerdin. Kunjungan ke dua saya ke Irak kedua ini, saya melihat Irak porak poranda. Presiden Irak, Saddam Hussein telah tiada. AS dan sekutunya telah menyerang Irak, Presiden Saddam Hussein ditangkap dan kemudian dihukum gantung.
Para pengikut Saddam Hussein marah dan bergabung dalam satu kelompok di dalam Negara Islam di Irak (ISI). Situasi di Irak belum aman hingga sekarang, meski pemerintah Irak menyatakan, ISI sudah dihancurkan dan tidak ada lagi di Irak. Tetapi setelah itu, Kementerian Luar Negeri melarang warganya berkunjung ke Irak. Negara ini masuk sebagai wilayah berbahaya dan warga AS harus menghindari berkunjung ke Irak.
Benar. Beberapa hari yang lalu, bom meledak lagi di negara "1001 malam" itu. Sebelumnya sudah berkali-kali ledakan bom. ISI yang berkembang ke Suriah, hingga bernams ISIS, ternyata masih ada di Irak.
Kita sudah tentu masih ingat, ketika sebelum Donald Trump mengucapkan sumpah sebagai Presiden AS, kita pernah menyaksikan karikatur yang dimuat di media luar negeri. Untuk menggambarkan bahwa AS berdiri di belakang ISIS. Hal itu terlihat dari karikatur di bawah ini. ISIS dan CIA ketakutan melihat beruang merah (Rusia) masuk ke Suriah. Pada masa kampanye, para pengamat menilai bahwa Trump sering membocorkan rahasia negara seperti menegaskan Presiden AS sebelumnya, Barack Obama adalah orang yang bertanggung-jawab membentuk Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
"Mereka menghormati Presiden Obama. Dia pendiri ISIS," ujar Donald Trump dalam kampanye di Florida pada hari Rabu, 10 Agustus 2016.
Ketika pasukan AS menghancurkan Irak dan menangkap Presiden Irak, Saddam Hussein pada 13 Desember 2003, delapan bulan setelah invasi ke Irak di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rusia ikut setuju meski persetujuan itu dinyatakan paling akhir. Kenapa Rusia setuju?Saya berpendapat bahwa Rusia belum siap berhadap-hadapan secara militer dengan AS dan sekutunya. Sebagaimana kita ketahui Rusia mengalami masa krisis ekonomi akibat kebijajan pembaharuan yang diterapkan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev.
Ketika saya mengunjungi ibu kota Uni Soviet, Moskwa pada bulan Desember 1992, Gorbachev tidak lagi ada di Kremlin. Ia menghilang dari Kremlin. Akhirnya saya mengerahui, itulah detik-detik kejatuhannya. Memang benar, setelah melalui proses yang panjang, setelah Boris Yeltsin, Vladimir Putin naik ke puncak kekuasaan. Ia mengubah nama Uni Soviet yang tak sesuai lagi karena negara satelitnya memisahkan diri, menjadi Rusia.
Ketika ISIS berkembang di Irak, bersamaan dengan masuknya AS demi minyak Irak, masyarakat internasional kaget, mengapa pada 15 Oktober 2006 ketika dideklarasikan negara Islam di Irak, tidak ada perlawanan dan bahkan pasukan Irak disuruh meninggalkan posnya serta menyerahkan begitu saja kepada pasukan negara Islam Irak. Sehingga pada tanggal 9 April 2013, dari Irak dideklarasikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi, negara Islam yang bukan hanya di Irak, tetapi juga di Sham (Suriah), ISIS.
Setelah itu, pasukan AS ingin masuk ke Suriah dan ingin menggulingkan Pemerinrahan Bashar al-Assad, kekuatan militer Rusia ikut membantu Bashar. AS kaget. Kekuatan militer Rusia betul-betul pulih. Bahkan meluncurkan tank, pesawat dan senjata mutakhirnya. Terlepas dari cara Rusia menjual produk senjatanya ke Suriah, yang jelas AS tidak bisa lagi bersikap seperti di Irak. Sekarang AS sudah memiliki lagi kekuatan pengimbang sebagaimana sewaktu Perang Dingin. Rusia sudah bangkit.
Perkembangan di Irak dan Suriah sekarang adalah bahwa AS sekarang ikut menghancurkan ISIS. Bagaimba pun ISIS adalah korban politik AS. Awalnya dibentuk dan kemudian dihancurkan. Di dalam politik bisa saja terjadi. Kemarin menjadi teman dan sekarang adalah musuh. Yang utama adalah kepentingan.
Semua ini sama halnya dengan hubungan antara Donald Trump dan Bill Clinton atau Hillary Clinton sebagaimana foto di bawah ini. Lebih penting adalah rakyat AS belum bisa melupakan kasus suami Hillary, Bill Clinton dengan Monica Lewinsky.
Donald Trump dan Hillary Clinton (Reuters)