Lihat ke Halaman Asli

Dasman Djamaluddin

TERVERIFIKASI

Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan

Pilpres 2019 dan Masa Depan Papua

Diperbarui: 15 Juli 2018   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebentar lagi bangsa Indonesia berbondong-bondong ke kontak suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Itu akan terjadi tidak lama lagi, yaitu di tahun 2019.

Memang menarik mengikuti berbagai perkembangan di Indonesia, khususnya setelah Pemerintah Indonesia berhasil melakukan proses Divestasi saham Freeport Indonesia. Dalam hal ini, 51 persen saham akan diberikan kepada Indonesia. Bahkan ada yang membandingkan keberhasilan tersebut dengan dua buah foto.

dh-ap6mucaelxm4-5b4b252dab12ae64d115e483.jpeg

Foto pertama, memperlihatkan penandatangana "Letter of Intend (LoI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan "International Monetery Fund (IMF) ".  Waktu itu, melihat foto di atas, kita geram. Foto yang ditampilkan, Michael Camdessu, Direktur IMF, pada 15 Januari 1998 di Jakarta, berdiri dengan angkuhnya.

Memang kita sedang membutuhkan dana pinjaman, bahkan Presiden Soeharto  menindaklanjuti penandatanganan tersebut dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1998 tertanggal 21 Januari 1998.

Isi Instruksi Presiden tersebut menghentikan pemberian bantuan keuangan kepada PT. IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio)  pimpinan BJ Habibie  dan menghentikan pemberian fasilitas kredit yang dijamin pemerintah kepada PT. IPTN. Artinya, Pemerintah tidak dibenarkan, kalau mau menerima dukungan IMF, menyalurkan satu sen dollar pun kepada IPTN. Padahal IPTN masih memerlukan kucuran dana. Akhirnya IPTN berhenti memproduksi.

Bandingkan dengan foto kedua. Sekarang Indonesia yang berlipat tangan menyaksikan pihak Freeport menandatangani proses Divestasi saham Freeport Indonesia. Masalah ini sudah sejak lama menjadi perhatian Indonesia.

Memang benar, ketika bangsa Indonesia berhasil memenangkan diplomasi tentang Papua di Perserikatan Bangsa-Bangsa di masa pemerintahan Presiden Soekarno, Freeport tidak menjadi dalih kuat, tetapi yang dikemukakan adalah berdirinya Universitas Cenderawasih di masa pendudukan Belanda, tanggal 10 November 1962. Kan kita tahu, bahwa Papua, nama waktu itu masih Irian Barat.

Karena Indonesia sudah berkarya dan melayani dengan mendirikan Universitas Cenderawasih, untuk masyarakat Papua, maka pada tahun 1969, ketika Irian Barat masuk menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia , alasan ini pulalah yang dipertimbangkan PBB.

Ketika salah seorang dosen di Universitas Cenderawasih, Agus Kafiar bertemu saya di Jakarta, karena ia adalah juga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat waktu itu, saya sangat berterimakasih. Meski saya meninggalkan Jurusan Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial, (FIHES) Universitas Cenderewasih tahun 1979, tetapi Agus Kafiar yang cukup saya kenal itu memberikan sebuah buku berjudul: "Grasberg, Penambangan Tembaga dan Emas di Pegunungan Irian Jaya pada Endapan yang Paling Terpencil di Dunia, tulisan George A.Mealey.

p-20180715-081846-5b4b3c04bde57533dd6dac88.jpg

Buku ini diterbitkan oleh Freeport -McMoRan Cooper & Gold Inc, New York.  Buku terjemahan dari bahasa Inggris, 384 halaman. Di dalam buku ini pada halaman kerukunan antar umat beragama. Juga seperti saya ketika menjadi Ketua Umum Lembaga Hukum HMI Cabang Jayapura, 1978-1979 dan 1979-1980, di mana pernah bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Theologia Gereja Kristen Indonesia.

Di buku ini pula terdapat foto-foto masjid di pusat alun-alun di Kuala Kencana, yaitu Masjid Baitur Rahman (hal.320). Sudah tentu gereja umat Kristen, baik Katolik maupun Protestan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline