Sabtu, 16 Juni 2018, saya membuka "twitter " Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu. Terlihat dua buah foto di atas, ia sedang bersama Yahya Cholil Staquf yang pada minggu ini menjadi bahan perbincangan di Indonesia.
"Pertemuan khusus hari ini di Jerusalem dengan Yahya Cholil Staquf, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Saya sangat berbahagia menyaksikan negara-negara Arab dan banyak negara Muslim semakin dekat ke Israel," demikian tulisan Netanyahu di "twitter" nya.
Netanyahu hanya tahu bahwa Yahya adalah Sekjen PB NU, tetapi sebetulnya Yahya Cholil Staquf adalah juga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekarang ini. Mengapapa tidak disebut? Menurut pendapat saya, Indonesia sejak pemerintahan Presiden Soekarno tidak memiliki hubungan diplomatik, karena bangsa dan negara kita konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina agar bisa merdeka dan berdaulat penuh seperti negara-negara lainnya yang merdeka di dunia.
Sebelum Israel merdeka tanggal 14 Mei 1948, wilayah Palestina sebagaimana terlihat dalam gambar sangat luas. Tidak ada wilayah negara Yahudi di sana. Setelah Perang Dunia II, negara pemenang Perang Dunia II, terutama Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, juga Uni Soviet membagi wilayah Palestina secara tidak adil.
Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengganti peranan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), karena dianggap gagal melaksanakan tugasnya. Menurut, saya PBB malah lebih gagal lagi dengan memecah wilayah Palestina secara tidak adil.
Coba bayangkan, lihat peta di atas, PBB memecah wilayah Palestina yang luas itu menjadi tiga. Bahkan wilayah untuk penduduk Yahudi lebih luas dari penduduk Arab Palestina (Muslim dan Kristen). Kaum Yahudi mendapat 56 persen dari seluruh wilayah Palestina. Arab Palestina hanya memperoleh 42 persen. Dua persennya, termasuk kota tua Jerusalem, masuk dalam pengawasan internasional.
Adalah hal wajar apabila bangsa Arab lainnya di Irak, Mesir, Jorsania sangat marah. Beberapa kali pertempuran terjadi dengan Israel. Negara Yahudi ini selalu menang. Bahkan dalam keadaan tidak perang, pemerintah Israel menerapkan pembangunan pemukiman baru, bukan untuk warga Palestina, tetapi pemukiman baru untuk penduduk Yahudi. Banyak warga Yahudi pulang ke Israel, sebaliknya sejak 1948, penduduk Palestina yang banyak menjadi pengungsi. Tujuh puluh tahun jadi pengungsi, tetapi negara Palestina yang merdeka secara "de jure," belum terwujud.
Indonesia baru-baru ini terpilih sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan3 PBB). Prioritas utama menurut Presiden Jokowi dan Menlu RI, memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina. Memang untuk menyeksaikan perdamamaian di Palestina, Indonesia harus menjembataninya dengan Israel, sementara hingga hari ini tidak memiliki hubungan diplomatik.
Sebelum Sekjen PB NU ini, sudah pernah Indonesia heboh, karena Delegasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), beranggotakan tujuh orang, bertemu dengan Presiden Israel Reuven Rivlin.
Berikutnya, ketika Mayor Jenderal Rais Abin diminta mendamaikan Mesir dan Israel, ia berujar akan menemui Menteri Pertahanan Israel waktu itu, Shimon Peres di Jerusalem. Jika tidak memperoleh kepercayaan dari Israel mana mungkin bisa mendamaikan Mesir dan Israel. Ia pun pergi ke Jerusalem untuk bertemu dengan Menteri Pertahanan Israel Shimon Peres. Setelah itu baru Rais Abin lega menerima jabatan sebagai Panglima Pasukan Perdamaian di Timur Tengah yang bermarkas di Mesir.
Ketika sekarang kita dipercaya menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB dan mengutamakan perdamaian Palestina dan Israel yang bermuara ke tujuan berdirinya Negara Palestina yang merdeka secara "de facto," dan "de jure," apakah kita sudah siap juga menerapkan kebijakan standar ganda yang sering dilakukan AS selama ini? Seperti dengan Republik Rakyat China, AS berhubungan baik. Tetapi dengan Taiwan, secara diam-diam pun menjalin hubungan baik.