Kubu pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga, mengajukan permohonan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat, 24 Mei 2019, sekitar pukul 22.35 WIB.
Inilah upaya terakhir Prabowo Subianto secara konstitusional. Selebihnya tulisan ini saya buat setahun yang lalu. Seraya menunggu Putusan MK, dipandang perlu melihat dari dekat figur Prabowo Subianto.
Ketika Prabowo pada hari Kamis, 9 Agustus 2018, mendeklarasikan calon wakilnya untuk menghadapi pemilihan Presiden RI 2019, yaitu Sandiaga Uno, tidak satu pun, partai-partai pendukung, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), termasuk Amien Rais, dan sudah tentu Gerindra, menolak dalam acara pendeklarasian tersebut.
Saya memang terharu melihat jiwa kepemimpinan Prabowo. Apalagi jika mempelajari proses pencalonan dirinya sebagai calon presiden yang bukan baru pertama kali terjadi. Ia benar-benar menggunakan haknya sebagai warga negara, tanpa patah semangat.
Pada tahun 2017, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto membuat terobosan baru dengan bertemu Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Puri Cikeas, Bogor, Jabar, Kamis malam, tanggal 27 Juli 2017.
Pertemuan itu diselenggarakan secara tertutup, tetapi di dalam perpolitikan bangsa jelang pemilihan presiden, kita sudah dapat menduganya. Apalagi hal ini dilakukan setelah Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo menyatakan keluar dari Pansus Angket KPK.
Prabowo atau setiap warga negara berpeluang menjadi Presiden RI, asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Prabowo Subianto, namanya mencuat ke permukaan setelah partai yang didirikan dan dipumpinnya sekarang, Partai Gerindra berhasil memenangkan calon Gubernur DKI yang diusungnya untuk menjadi gubernur lima tahun ke depan. Sudah tentu bukan hanya Gerindra yang dianggap berhasil, tetapi PKS dan sejumlah tokoh penting berperan dalam memenangkan Anies-Uno memimpin Jakarta.
Jakarta adalah barometer. Demikian sebahagian masyarakat memprediksinya. Oleh karena itu kemenangan ini dianggap kesuksesan Partai Gerindra dan partai pendukungnya untuk mempersiapkan diri menghadapi Pilpres 2019 ini. Buat Prabowo kemenangan ini lebih meyakinkan dirinya untuk tetap memposisikan diri sebagai pemenang, meski banyak pula mengungkap luka-luka masa lalunya sebagai seorang perwira Tentara Nasional Republik Indonesia.
Di bulan Mei 2017, kita melihat ke belakang, tepatnya 22 Mei 1998, ia dipecat sebagai Pangkostrad. Itu terjadi sehari setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan BJ Habibie. Mengapa secepat itu, Prabowo dipecat? Karena, ia dianggap bersalah mengirim pasukan Kostrad ke Jakarta. Ia dianggap menyalahi prosedur, karena yang bisa menggerakkan pasukan Kostrad itu hanya Panglima ABRI saat itu yang dipegang oleh Jenderal Wiranto. Itu sebabnya, Jenderal Wiranto langsung mencopot Prabowo. Jadi boleh dikatakan, baru saja terjadi penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharo ke BJ Habibie, pada 21 Mei 1998, maka besoknya tanggal 22 Mei 1998, Prabowo dipecat.
Kita juga jangan lupa di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto yang dalam foto di atas memecat Prabowo, juga menghadapi masalah dengan kasus di Timor Timur. Gus Dur mengatakan, ia tetap pada pendiriannya akan meminta Wiranto mundur sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan untuk mengurangi tekanan-tekanan dari dunia internasional.