[caption caption="Pesawat A-4 Skyhawk (Foto: Kompas)"][/caption]Membaca dan menganalisa tulisan harian "Kompas, " edisi Kamis, 23 Maret 2017 di halaman 5 berjudul: "A-4 Skyhawk dan Sejarah Pertahanan, " mengingatkan kita akan hubungan tidak resmi antara Indonesia dan Israel.
Dalam tulisan ini dipaparkan dengan jelas bagaimana pilot-pilot kita dilatih di Israel.Dikutip pula buku salah seorang pilot, F Djoko Poerwoko, dalam buku autobiografinya, "Fit Via Vi." Diceritakan panjang lebar strategi Israel dan agen rahasianya melatih pilot Indonesia di Israel. Setelah latihan, mereka disuruh jalan-jalan ke Amerika Serikat. "Semua hal yang menandakan mereka pernah dilatih di Israel harus dimusnahkan." Untuk itu, mereka merahasiakan latihan di Israel. Mereka hanya berkata dilatih di Amerika Serikat. Foto-foto yang dibawa ke Indonesia, hanya foto-foto selama di negara Pam Sam itu.
[caption caption="Netanyahu dan Lee Hsien Loong (Foto Reutere)"]
[/caption]Membaca artikel tentang pelatihan pilot-pilot kita di Israel, dikaitkan dengan kunjungan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu ke Singapura, juga baru-baru ini, seakan-akan kita tidak pernah berkomunikasi dengan Israel. Lebih dari itu, kita hanya berkomunikasi melalui Singapura saja, karena negara itu memang benar sebagai penghubung antara Indonesia dan Israel.
Sangat terlihat jelas, ketika Netanyahu akan ke Australia, tidak melewati jalur udara negara kita. Saya memperhatikan dengan seksama, untuk apa Israel melakukan demikian? Apakah ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia benar-benar tidak pernah berhubungan, minimal secara tidak langsung dengan Indonesia? Jika demikian, apakah hubungan informal dilakukan hanya dengan Tentara Nasional Republik Indonesia?
Hal serupa pernah terjadi saat-saat Rais Abin akan diangkat menjadi Panglima Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timur Tengah dari tahun 1976-1979 dan bermarkas di Mesir. Pada waktu itu, hubungan Mesir-Israel memburuk. Sekjen PBB Kurt Waldheim menganggap, Rais tidak perlu ke Israel. Cukup dirinya saja yang menjembatani. Tetapi Rais Abin tidak puas jika tidak bertemu pihak Israel.Bukankah, ia diminta menengahi kedua negara, Mesir dan Israel? Mana mungkin jika tidak mengenal lebih jauh tentang Israel?
Akhirnya, Rais Abin berbicara langsung dengan Sekjen PBB, Kurt Waldheim, dan mengatakan, dia harus ke Israel.Berkat bantuan Letjen Ensio PH Siilasvuo, Panglima Pasukan Perdamaian PBB Pertama, Rais Abin pun melangkahkan kakinya sebagai perwira PBB pertama ke Jerusalem dan bertemu dengan Menteri Pertahanan Israel Shimon Peres.
[caption caption="Buku Pak Rais Abin (Dokumentasi)"]
[/caption]Setelah mengikuti berbagai peristiwa di atas, kita menghadapi berbagai dilema dalam hubungan Indonesia-Israel. Harus kita akui, Israel tetap memperoleh dukungan kuat dari Amerika Serikat. Hanya persoalan bangsa kita, hingga kapan menggantungkan persenjataan mutakhir ke negara lain. Bangsa Indonesia diakui pernah mengalami masa-masa jaya di era BJ Habibie. Waktu itu, kita sudah berhasil membuat pesawat udara. Sayang sekali, produksi dihentikan karena dianggap pemborosan.Ketika penandatanganan " Letter of Intend (LoI) antara RI dengan "Indonesia Monetery Fund (IMF)," pada 15 Januari 1998 di Jakarta memuat klausul yang menyatakan bahwa dana anggaran dan non anggaran yang digunakan untuk program-program Industri Pesawat Terbang Nasional harus dihentikan.
Setelah itu pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1998 tertanggal 21 Januari 1998. Isinya, menghentikan pemberian bantuan keuangan kepada PT.IPTN dan menghentikan pemberian fasilitas kredit yang dijamin pemerintah kepada PT IPTN. Pada waktu itu, berakhirlah era industri pesawat dalam negeri kita. Bagaimanapun bangsa ini harus bangkit di atas kemampuan diri sendiri.Ucapan Berdiri Di atas Kaki Sendiri (Berdikari) dari Bung Karno tetap relevan hingga kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H